sepak bola indonesia

Fanatisme Buta Pendukung Klub Sepak Bola Indonesia: Aremania dan Bonek

Meski tragedi yang menimpa Aremania di Stadion Kanjuruhan sama sekali tak melibatkan Bonek, kedua suporter dari klub berbeda itu identik sebagai rival.

Sejarah singkat rivalitas antara Klub Bola Arema Persebaya. Foto: Boombastis.

apahabar.com, JAKARTA - “Sepak bola bukan sekadar olahraga, tetapi menjadi suatu identitas sosial bagi seluruh pendukungnya.” Demikian Iswandi Syahputra merawikan makna sepak bola dalam buku berjudul Pemuja Sepak Bola: Kuasa Media Atas Budaya

Seringkali para suporter klub sepak bola melakukan apa saja demi junjungannya. Entah itu membeli tiket pertandingan, meneriakkan dukungan, merayakan kemenangan, menangisi kekalahan, bahkan menyulut kekerasan atas dasar kekecewaan.

Kecintaan yang terlalu mendalam itu, lambat laun, bakal berujung menjadi fanatisme buta. Sebagaimana yang menimpa Aremania – suporter klub Arema FC – pada Sabtu (1/10) di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur.

Tragedi Kelam Stadion Kanjuruhan

Tragedi yang merenggut ratusan nyawa ini bermula ketika Aremania merangsek masuk ke dalam lapangan.

Mereka tidak terima klub kesayangannya takluk dari Persebaya, seperti dilaporkan Antara, Minggu (2/10).

Korban yang meninggal kali ini bukan dikarenakan bentrok dengan Bonek – pendukung klub Persebaya.

Malahan, Bonek tak hadir dalam kerusuhan ini, sebab mendapat larangan untuk datang menonton ke Stadion Kanjuruhan.

Peristiwa kelam itu bermula sekira pukul 22.00 WIB, ketika pemain Arema FC berjalan menuju kamar ganti, suporternya turut turun ke lapangan dan melakukan penyerangan. Aremania yang masuk ke lapangan makin banyak, polisi pun jadi kewalahan.

Aparat keamanan lantas menembakkan gas air mata, mengakibatkan ratusan penonton sulit bernapas.

Mereka kelimpungan, berlarian menyelamatkan diri dengan berdesak-desakkan. Suporter yang sesak bahkan sampai terjatuh, lalu terinjak-injak.

Rivalitas Aremania dan Bonek yang Kadung Mengakar

Meski tragedi yang menimpa Aremania di Stadion Kanjuruhan sama sekali tak melibatkan Bonek, kedua suporter dari klub berbeda itu identik sebagai rival.

Kondisi saat ini agaknya kembali mengingatkan pada tragedi di tempat yang sama, dua belas tahun silam.

Kala itu, Bonek tak mampu membendung rasa kecewa atas kekalahan Persebaya dari Arema FC.

Mereka melampiaskan kekesalannya ini dengan merusak fasilitas Stadion Kanjuruhan, termasuk memecahkan kaca dan merusak beberapa kendaraan di luar stadion.

Tak ada yang tahu pasti kapan dan mengapa rivalitas suporter dari Persebaya dan Arema FC ini bermula.

Namun, Galuh Saputro dalam jurnal Pandangan Bonek: Tentang Konflik Antara Bonek dan Aremania menilai persaingan itu didasarkan atas rasa gengsi.

“Gengsi karena status daerah nomor satu dan nomor dua di Jawa Timur. Kemudian, rasa iri dan cemburu karena pengakuan dan anggapan masyarakat umum bahwa klub asal Surabaya lebih hebat daripada klub asal Malang,” begitu tulisnya.

Galuh menduga ketegangan antara Aremania dan Bonek juga disebabkan perbedaan ‘porsi’ pemberitaan di media massa.

Kala itu, media gencar mewartakan klub-klub sepak bola serta suporter yang berasal dari Surabaya lebih banyak ketimbang klub dan suporter asal Malang. 

Cerita Lama dari Tahun 1992

Masih bersumber dari literatur yang sama, dituturkan bahwa konflik antara Aremania dan Bonek bermula pada 1992, ketika Semifinal Galatama yang mempertandingkan Arema FC dan Semen Padang digelar di Stadion Tambaksar, Surabaya.

Semen Padang berhasil menjadi juara. Kekalahan Arema lantas membuat Aremania tak puas.

Sebagai bentuk pelampiasan, suporter itu berulah dengan merusak fasilitas di Stasiun Gubeng. Bonek pun geram bukan main.

Pendukung Persebaya ini lantas melakukan aksi balasan dengan mencegat dan menyerang rombongan Aremania saat bertandang ke Gresik pada akhir 1993.

Tensi rivalitas berlanjut saat Persebaya dan Arema FC berjumpa di Stadion Tambaksari pada 1996. 

Pertemuan itu membuat stadion lebih cocok disebut medan laga, ketimbang medium bermain bola. Aksi pembalasan masih dilakukan Bonek.

Tepatnya pada 2 Mei 1998, ketika Aremania baru turun dari kereta di Stasiun Pasar Senen, Jakarta, mereka diserang oleh puluhan Bonek.

Berujung 'Hitam di Atas Putih'

Rivalitas yang kian memanas antara Bonek dan Aremania membuat keduanya menandatangani nota kesepakatan.

Bahwasanya, masing-masing suporter tidak akan menghandiri kandang lawan dalam laga yang mempertemukan Arema FC dan Persebaya.

Perjanjian di atas kertas yang ditandatangani oleh Kapolda Jawa Timur dan kedua pemimpin kelompok suporter tersebut diadakan pada 1999.

Sejak saat itu, kedua elemen pendukung ini tak pernah saling tandang dalam pertandingan yang mempertemukan Arema FC dan Persebaya.

Namun, kesepakatan itu boleh dibilang hanya sebatas 'hitam di atas putih.' Aremania dan Bonek masih bertemu ketika tim kesayangannya bertanding.