Hot Borneo

Fakta Baru Soal Pemindahan Ibu Kota Kalsel, “Pusat Sebenarnya Tak Mau”

apahabar.com, BANJARMASIN – Fakta baru mencuat. Pemerintah pusat rupanya sempat tak setuju jika Ibu Kota Provinsi…

Setelah sidang ketiga mahkamah bergulir, Pemkot Banjarmasin langsung tancap gas menggelar diskusi publik yang mengusung optimisme Banjarmasin tetap berstatus Ibu Kota Kalsel di Aula Kayuh Baimbai, Balai Kota Banjarmasin, Kamis (21/7). apahabar.com/Bahaudin Qusairi

apahabar.com, BANJARMASIN – Fakta baru mencuat. Pemerintah pusat rupanya sempat tak setuju jika Ibu Kota Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) dipindah dari Banjarmasin.

Temuan tersebut diungkap oleh Wakil Ketua Komisi V DPR RI, Syaifullah Tamliha.

Dalam diskusi hukum “Judicial review di Mahkamah Konstitusi” di Aula Kayuh Baimbai, Balai Kota Banjarmasin, Kamis (21/7), legislator PPP itu buka-bukaan mengenai siapa penggagas pemindahan Ibu Kota Kalsel ke Banjarbaru.

Sebelum itu, Tamliha, dalam diskusi yang mengusung optimisme Banjarmasin tetap menyandang status Ibu Kota Kalsel tersebut, berujar jika terdapat kesalahan persepsi mengenai informasi perpindahan Ibu Kota Kalsel seperti yang tersiar di media sosial.

"Kalau sosialisasi Undang Undang (UU) boleh di media sosial (medsos), tapi kalau rujukan pemindahan ibu kota melalui medsos menurut saya tidak pantas untuk dijadikan dasar," tutur legislator Senayan asli Banua ini.

Kala Ibnu Sina Vs Aditya Rebutan Status Ibu Kota Provinsi Kalsel

Secara historis, Tamliha menekankan jika berdasar UU Nomor 25/1956 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, Ibu Kota Kalsel adalah Banjarmasin.

Baca selengkapnya di halaman selanjutnya:

"Apakah bisa dikaji ulang ibu kota provinsi, karena kantor gubernur di Banjarbaru? tapi ya ibu kota di Banjarmasin," ucap Tamliha.

Namun semua itu berubah saat Komisi II DPR RI menyodorkan usul pemindahan Ibu Kota Provinsi Kalsel. Hingga pada awal tahun tadi, lewat proses pembentukan yang dianggap minim partisipasi publik oleh pemerintah dan warga Banjarmasin, UU Nomor 8/2022 terbentuk.

Belakangan UU tersebut memicu penolakan dari kebanyakan masyarakat Banjarmasin karena bermuatan pemindahan ibu kota, sesuai Pasal 4. Maka, lahirlah permohonan judicial review atau peninjauan kembali terhadap UU Provinsi Kalsel Nomor 8/2022.

"Itu ‘kan inisiatif DPR, kemudian pemerintah [pusat] menyetujui untuk dibahas. [Tapi] sepertinya pemerintah tidak mau," ucapnya.

Kendati begitu, bagi Tamliha bahwa pada hakikatnya mekanisme pembentukan UU Provinsi Kalsel Nomor 8/2022 tersebut benar adanya.

Mulai dari proses dibuatnya panitia kerja (panja) di Komisi II DPR RI, pembahasan, hingga pengesahannya. Syaifullah kala itu masih berada di Komisi I DPR RI.

"UU itu ada 2, yang pertama atas usulan presiden dan inisiatif DPR," tuturnya menjelaskan.

Melihat itu, Wali Kota Banjarmasin, Ibu Sina makin optimis setelah melihat diskusi tadi yang menghasilkan persepsi dan fakta hukum yang sama, Banjarmasin tetap menjadi ibu kota.

Wali kota dua periode itu tentu berharap dapat menjadi pertimbangan hakim dalam memutus permohonan pihaknya. "Yang disampaikan Pak Syaifullah tadi bisa jadi fakta baru persidangan juga," ucapnya.

Sebagai pengingat, sebelumnya Ibnu bersama tiga pemohon lainnya tengah mengajukan permohonan uji UU Provinsi Kalsel Nomor 8/2022.

Merasa tanpa pernah dilibatkan sekalipun oleh DPR RI, Ibnu sebagai orang nomor satu di Banjarmasin menganggap proses lahirnya UU Provinsi Kalsel bertentangan dengan UUD 1945.

Kendati begitu Ibnu melihat fakta baru tersebut tidak serta merta menjadi bukti tambahan dalam permohonan yang sudah memasuki sidang ketiga di mahkamah.

"Tetapi bisa saja menambahkan dalam keterangan," jelas politikus Demokrat ini.

Sidang Ketiga

Benarkah Senayan Sudah Jaring Aspirasi Pemindahan Ibu Kota Kalsel Seperti Klaim Arteria?

Mewakili DPR RI, Arteria Dahlan sebelumnya telah membantah jika Rancangan UU Provinsi Kalsel Nomor 8/2022 yang bermuatan pemindahan ibu kota dari Banjarmasin ke Banjarbaru tidak melibatkan partisipasi publik.

"RUU Provinsi Kalsel dengan melibatkan Pemprov Kalsel, DPRD Kalsel, LSM, di Banjarmasin. Berdasarkan uraian tersebut di atas, UU Nomor 8/2022 telah memenuhi asas keterbukaan sesuai konstitusional sesuai dengan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dengan Peraturan DPR Pembentukan UU," ujar Arteria, kemarin.

Lantas benarkah klaim demikian? Sesuai fakta dalam sidang ketiga uji UU Kalsel di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa itu (19/7), nyatanya klaim Arteria dipandang hakim belum terbukti benar.

Pasalnya, terkait keterangan Arteria, Hakim Konstitusi Prof Saldi Isra meminta agar DPR menyertakan alat bukti jika telah menampung aspirasi masyarakat. Majelis hakim belum melihat tindakan apa saja yang yang telah dilakukan DPR untuk menjaring aspirasi publik.

"Di dalam keterangannya, sudah diuraikan upaya‑upaya yang dilakukan oleh DPR untuk menyerap aspirasi masyarakat di Kalimantan Selatan. Nah, tolong yang disampaikan Pak Arteria tadi, itu bukti-buktinya disampaikan ke Mahkamah segera," tanya Saldi, dalam persidangan.

"Supaya kami bisa melihat tindakan atau upaya‑upaya yang dilakukan yang tadi dijelaskan sebagai bagian dari menjemput aspirasi atau penyerapan aspirasi yang dilakukan oleh DPR kepada masyarakat atau kelompok-kelompok tertentu di Kalimantan Selatan."

Arteria juga menyebut jika telah melibatkan DPRD Kalsel. Benarkah klaim demikian? Penelusuran apahabar.com, nyatanya DPRD Kalsel mengaku tidak ikut dilibatkan.

Maret 2022 lalu, Ketua DPRD Kalsel H Supian HK mengatakan tidak pernah ada permintaan dari Senayan, sebutan DPR RI, untuk DPRD Kalsel ikut menggodok aturan tersebut.

"Kalau melihat pembentukan Perda (UU) Kemarin, DPRD sangat dikecilkan karena tidak dilibatkan," kata Supian ditemui di ruang kerjanya, Rabu (16/3) lalu.

Bagaimana dengan Pemkot dan DPRD Banjarmasin? Tentu saja tidak dilibatkan. Pasalnya, jika mereka dilibatkan, tak mungkin lahir pengajuan permohonan uji UU Provinsi Kalsel ke MK.

Ibnu Sina menggandeng Ketua DPRD Banjarmasin Harry Wijaya sebagai representasi warga menyatakan menolak proses lahirnya UU Provinsi Kalsel. Secara khusus, DPR RI tidak pernah datang ke Banjarmasin untuk langsung menampung aspirasi masyarakat.

Ibnu menganggap pembentukan UU Provinsi Kalsel juga tidak memerhatikan keserasian hubungan pemerintah pusat daerah. Terbukti dengan tidak adanya penetapan DPRD Kalsel dalam rapat paripurna untuk memutuskan ibu kota provinsi berpindah dari Banjarmasin ke Banjarbaru.

Dan sebagai pemangku kepentingan pemerintah daerah, kata Ibnu, Pemkot Banjarmasin pun tidak pernah dilibatkan. Mulai dari tahap pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi hukum dan menjadi rancangan yang diajukan dalam penetapan RUU.

“Dengan adanya sederet keterangan tambahan dalam diskusi tadi, kami semakin yakin Banjarmasin akan tetap menjadi ibu kota Kalsel,” pungkas Ibnu.