Pemilu 2024

Fahri Bachmid: Isu Pemakzulan Jokowi Hanya Imajinasi, Tak Punya Basis Hukum

Usulan pemakzulan Presiden Jokowi mencuat. Sejumlah tokoh yang tergabung dalam Petisi 100 mendatangi kantor Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfu

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Fahri Bachmid. Foto: Hukumonline.

apahabar.com, Jakarta - Usulan pemakzulan Presiden Jokowi mencuat. Sejumlah tokoh yang tergabung dalam Petisi 100 mendatangi kantor Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD untuk hal itu.

Terkait pemaksuzalan Jokowi, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Fahri Bachmid bereaksi. Ia Berpendat pemakzulan "Impeachment" terhadap Presiden harus memenuhi anasir-anasir absolut yang bersifat "Measurable".

Poinnya adalah presiden Jokowi terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara seperti korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela.

"Apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden dan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi mutlak tingkat keterbuktiannya "attainable", artinya diluar "article of impeachment" sebagaimana rumusan konstitusi itu, maka tidak cukup alasan atau berdasar untuk malakukan pemakzulan presiden," ungkapnya, Selasa (16/7).

Baca Juga: Ada Usulan Pemakzulan Jokowi, Mahfud MD: Tidak Bisa Sebelum Pemilu!

Fahri Bachmid berpendapat bahwa manuver yang dilakukan oleh petisi 100 itu sifatnya politis, dan lebih berorientasi pada upaya mendelegitimasi Pemilu 2024/

"Ini sangat destruktif dalam upaya membangun demokrasi konstitusional saat ini, sebab secara konstitusional discourse terkait pemakzulan presiden tidak mempunyai basis legal konstitusional, sehingga bernuansa imajiner belaka," paparnya.

Fahri Bachmid menguraikan bahwa lembaga Pemakzulan/Impeachment Presiden telah diatur secara limitatif dalam konstitusi (UUD NRI 1945), seperti ketentuan norma Pasal 7A dan 7B.

Baca Juga: Pesan Pemakzulan Jokowi: Antara Moeldokogate dan Watergate

Aturan tersebut berbunyi "Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden".

Selanjutnya berkaitan dengan usulan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh DPR kepada MPR hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran.

Ketentuan terkait proses tersebut kemudian diajukan melalui DPR kepada MK dan hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna.

Baca Juga: Prabowo Tegas Lanjutkan Program Jokowi untuk Kemakmuran Rakyat

Ketika proses telah beralih pada MK, maka Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat DPR tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan DPR itu diterima oleh MK.

Fahri Bachmid menguraikan bahwa apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum dan terbukti dan tidak lagi memenuhi syarat, maka DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden atau Wakil Presiden kepada MPR.

Langkah selanjutnya adalah MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak MPR menerima usul tersebut.

Keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden atau Wakil Presiden menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR.