Enggan Tandatangani Penolakan KUHP, Begini Alasan Wakil Rakyat Kalsel

Aksi unjuk rasa penolakan pengesahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) di depan Kantor DPRD Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) kian memanas.

Aksi unjuk rasa penolakan pengesahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) di depan Kantor DPRD Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) kian memanas. Bahaudin Qusairi

apahabar.com, BANJARMASIN - Aksi unjuk rasa penolakan pengesahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) di depan Kantor DPRD Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) kian memanas, Rabu (14/12/2022).

Mahasiswa sempat mendorong penjagaan dari anggota kepolisian, karena ditinggal dua anggota DPRD Kalsel.

Kedua wakil rakyat, Ketua Komisi I DPRD Kalsel, Rachmah Norlias dan Anggota Komisi II DPRD Kalsel, Karlie Hanafi sebelumnya berdialog dengan mahasiswa.

Namun paparan keduanya tentang KUHP tidak membuat massa aksi puas.

Karlie dan Rachmah pun meninggalkan dialog karena tidak ingin menandatangani lembar perguruan dari mahasiswa di Jalan Lambung Mangkurat, Banjarmasin.

“Kami tidak tau, isinya juga singkat begitu. Kami hanya berdua, tidak mewakili lembaga. Kalau pribadi tidak enak dan kalau lembaga tidak cukup,” ujar Karlie beralasan tidak menandatangani.

Karlie menekankan bahwa wakil rakyat Kalsel bersiap meneruskan tuntutan penolakan KUHP yang diperjuangkan mahasiswa ke DPR RI.

Ia mengatakan langkah tersebut supaya membuat masyarakat Kalsel dan saling percaya keberadaan wakil rakyat.

“Supaya tidak bohong, ada beberapa orang akan ikut menyerahkan,” ujar Politisi Partai Golkar Kalsel ini.

Namun, ia mengakui bahwa serba salah mengambil sikap tentang menolak pengesahan KUHP.

Karena, dirinya tidak mengetahui pasal mana saja yang kontroversi dan perlu adanya kajian.

“Setiap pasal itu ada yang tegas menindak dan ada yang ambigu. Jadi kita bingung juga ini,” ucapnya.

Menurutnya wakil rakyat Kalsel tidak mempunyai otoritas dalam menolak KUHP menjadi lembaran negara. Namun bahasa penolakan KUHP tetap bergelora di LSM dan masyarakat Kalsel.

“Karena ini bentuk Undang Undang (UU), maka ini ranah pemerintah pusat,” tuturnya.

Koordinator Wilayah (Korwil) BEM se-Kalsel, M Yogi Ilmawan mengatakan bahwa tuntutannya masih sama tentang penolakan pasal bermasalah di KUHP.

BEM Kalsel mencatat sedikitnya ada 60 pasal bermasalah dalam KUHP terbaru.

Beberapa di antaranya seperti pasal 218 mengenai penghinaan presiden. Pelaku diancam hukuman tiga tahun penjara.

Kemudian pasal 256, ancaman pidana bagi penyelenggara unjuk rasa tanpa pemberitahuan. Hukumannya yakni enam bulan penjara.

Pasal 349; penghinaan terhadap lembaga negara dengan ancaman hukuman penjara 1,5 tahun. Hukuman bisa diperberat apabila dilakukan melalui media sosial.

Terakhir, pasal 603 yang bunyinya koruptor paling sedikit dihukum penjara dua tahun dan maksimal 20 tahun. Selain itu, koruptor dapat dikenakan denda paling sedikit kategori II atau Rp 10 juta dan paling banyak Rp 2 miliar.

Kendati sudah disahkan oleh DPR RI pada 6 Desember lalu, menurut Yogi, upaya untuk menjegal aturan-aturan kontroversial itu masih ada.

“Kami mendesak agar UU KUHP dicabut dan keluarkan Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang)," tegasnya.