Kalsel

Empati Warganet Mengalir, Hukuman Pelaku Pembunuhan Tetangga di Banjarbaru Bisa Diringankan?

apahabar.com, BANJARMASIN – Kasus pembunuhan di Cempaka, Banjarbaru yang dilakukan MI (23) terhadap RB (53) pada…

Dekan Fakultas Hukum Universitas Achmad Yani Banjarmasin, Masrudi Muchtar. Foto-Istimewa

apahabar.com, BANJARMASIN – Kasus pembunuhan di Cempaka, Banjarbaru yang dilakukan MI (23) terhadap RB (53) pada Senin 16 Agustus tengah menjadi buah bibir. Bukannya menuai kecaman, tindakan MI malah mendapat empati dari masyarakat, khususnya warganet.

Banyak yang meminta MI dan keluarga untuk bersabar dan tabah. Selebihnya meminta aparat penegak hukum bisa meringankan hukumannya.

Terlebih polisi mengenakan pasal 340 subsider 351 (3) KUHPidana tentang pembunuhan berencana dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara hingga seumur hidup.

Ada alasan mengapa itu terjadi. Masyarakat menilai tindakan MI semata-mata demi menjaga kehormatan keluarga, terutama adiknya yang menjadi korban pelecehan seksual oleh RB.

Lantas bagaimana dari kacamata hukum pidana atas persoalan ini. Apakah ada kemungkinan hukuman MI diringankan?

Pertanyaan ini coba disodorkan kepada Masrudi Muchtar. Dia adalah dosen ahli hukum pidana dari Universitas Achmad Yani (Uvaya) Banjarmasin.

Sebelum menjawab itu, Masrudi memberi pandangan. Sakit hati, marah atau dendam yang dirasakan MI karena adiknya telah dilecehkan adalah hal yang manusiawi, dan Masrudi menilai wajar.

Kendati begitu, bukan berarti tindakan MI dengan cara menghabisi nyawa RB boleh dibenarkan. Masrudi memastikan 100 persen MI telah berbuat salah.

“Karena ia telah mengambil langkah street justis (hukum jalanan). Menjadi hakim sendiri. Dan itu tidak dibenarkan,” ujar Dekan Fakultas Hukum Uvaya ini.

Munculnya empati dan dukungan dari masyarakat terhadap MI menurut Masrudi adalah hal yang menarik. Artinya, masyarakat memahami apa yang dirasakan MI. Walaupun sekali lagi perbuatan MI sudah dipastikan salah.

Selain itu, hal menarik lainnya soal hukuman yang nantinya akan diberikan terhadap MI. Di mana pasal dikenakan tentang pembunuhan berencana, jelas lebih berat dari pasal pembunuhan biasa.

“Sehingga ini jadi PR hakim dalam memutuskan. Harus jeli, apakah betul berencana atau biasa. Karena ini menyangkut hak asasi orang, baik pelaku maupun korban,” ungkapnya.

Dijelaskannya, secara teori ada perbedaan mendasar antara pembunuhan berencana dengan biasa.

Untuk berencana, kedua belah pihak yang bertikai cenderung saling mengenal satu sama lain. Kemudian pelaku akan menyusun rencana secara matang dan tenang.

Sedang untuk pembunuhan biasa, secara teori akan bisa dilihat apabila dilakukan secara bersama-sama. Sehingga kasus yang dialami MI mesti diperhatikan secara mendalam.

“Aparat penegak hukum perlu jeli mengurai unsur dalam pasal 340 itu. Karena tak sedikit pasal yang dikenakan berencana ternyata di Persidangan ditemukan pembunuhan biasa,” imbuhnya.

Lantas meski dikenakan pasal 340 KUHPidana apakah ada kemungkinan hukuman MI diringankan karena alasan demi menjaga kehormatan keluarga?

Rudi tak bisa memastikannya, pasalnya pandangan penggunaan motif di penerapan pasal 340 KUHPidana terbagi dua. Ada yang menjauhkan, ada pula yang menggunakannya.

Dijelaskan, jika mengacu pada sejarah pembentukan undang-undang KUHPidana maka motif akan dijauhkan dari penerapan pasal 340.

Di sisi lain, ada juga yang menjadikan motif sebagai dasar pertimbangan dalam penerapan pasal tersebut. Termasuk Rudi juga memakainya.

“Kalau pribadi saya menilai, motif ini penting. Karena sekali lagi mana ada orang mau orang yang disayangi dan dilindungi dianiaya atau dilecehkan,” imbuhnya.

Terlebih seandainya pelaku bukan residivis, baru pertama kali melakukan melanggar hukum. Perbuatannya tersebut hanya karena didasari masalah interpersonal hingga terbakar amarah.

“Karena ada orang bisa mengambil langkah hukum sesuai aturan, ada juga orang yang tidak. Ia gunakan street justis tadi,” ujarnya.

Menurut Rudi, ada beberapa faktor mengapa orang sampai bisa penggunaan street justis atau hukum jalanan tersebut.

Kecenderungan adalah dikarenakan pelaku memang kurang paham dengan hukum, atau ada juga disebabkan kurang kepercayaan terhadap penegakan hukum.

Sehingga menurut Rudi, pemerintah daerah perlu untuk memberikan pendidikan hukum kepada masyarakat agar kasus-kasus kriminal yang didasari untuk mencari keadilan bisa dikurangi.

“Bahwa hukum kita ini masih bisa dipercaya. Aparat penegak hukum bisa bekerja secara baik,” pungkasnya.