News

Empat Poin Utama Praperadilan Mardani H. Maming, dari Tiadanya Kewenangan KPK hingga Kriminalisasi Transaksi Bisnis

apahabar.com, JAKARTA – Sidang permohonan praperadilan yang diajukan oleh Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia, Mardani…

Denny Indrayana, Tim Kuasa Hukum Mardani H. Maming yang ditunjuk PBNU, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa, 19 Juli 2022. Foto-Ist

apahabar.com, JAKARTA – Sidang permohonan praperadilan yang diajukan oleh Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia, Mardani H. Maming yang sempat ditunda, akhirnya dihadiri oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

Sidang yang dipimpin oleh hakim tunggal Hendra Utama Sotardodo di ruang sidang utama PN Jakarta Selatan tersebut mengagendakan pembacaan permohonan praperadilan oleh kuasa hukum Mardani Maming.

Dalam permohonan praperadilan yang dibacakan ringkasannya secara bergantian oleh kuasa hukum yang tergabung dalam Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama tersebut, ada empat argumentasi utama mengapa penyidikan dan penetapan tersangka Mardani H. Maming seharusnya dinyatakan tidak sah.

"Pertama, KPK tidak berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan karena perkara yang ditangani sama dengan perkara yang ditangani oleh Kejaksaan Agung dan masih dalam proses banding setelah putusan di Pengadilan Tipikor Banjarmasin," ujar Denny Indrayana, Tim Kuasa Hukum Mardani H. Maming yang ditunjuk PBNU, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa, 19 Juli 2022.

Argumen kedua, perkara yang sedang disidik oleh KPK sebenarnya adalah persoalan business to business. Ada underlying transaction yang jelas, terdapat perjanjian dan hubungan utang piutang yang sah, dan dikuatkan oleh putusan Permohonan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.

Lebih jauh, hubungan bisnis yang bisa dibuktikan proses keperdataan tersebut, seharusnya tidak dibenarkan untuk dikriminalisasi, karena akan menghambat investasi bisnis dan program pemerintah yang kita perlukan dalam pemulihan ekonomi dari pandemi Covid-19 yang telah berlalu.

Kuasa hukum lainnya, Abdul Qodir menambahkan poin ketiga, yaitu ada persoalan prudentiality, kehati-hatian, dalam penanganan perkara ini, dimana pasal-pasal yang dijadikan dasar penyidikan ternyata berubah-ubah.

"Nanti dalam tahap pembuktian terlihat, misalnya di dalam surat pencegahan, pasalnya lebih banyak dibandingkan surat KPK yang lain. Ini persoalan kehati-hatian yang sangat prinsipil. Bagaimana kita bisa menjawab tuduhan, kalau pasalnya saja berubah-ubah yang tentu saja melanggar Hak Asasi Tersangka untuk mendapatkan proses hukum yang adil dan berkepastian hukum," tegas Abdul Qodir yang juga Ketua LBH Ansor ini.

Terakhir, yang juga sangat penting dan esensial adalah tidak terpenuhinya due process of law. Dalam perkara ini, KPK dalam menetapkan tersangka, memperoleh alat bukti dan barang bukti dilakukan secara tidak sah mengingat penetapan tersangka dimulai di awal penyidikan tanpa didukung alat bukti secara projustisia.

"Bagaimana mungkin KPK memiliki alat bukti dan barang bukti, sementara alat bukti dan barang bukti yang sama sedang berada di Kejaksaan. Itu semua menunjukkan bahwa penetapan tersangka maupun perolehan alat buktinya tidak sah. Sehingga, konsekuensi hukumnya, kita minta penyidikan dan penetapan tersangka ini, semua prosesnya dibatalkan," tutup Andi Jaya Putra, kuasa hukum lainnya. (*)