Pemkab Barito Kuala

Dukung Pemasaran, Petani Nanas Mekarsari Batola Tuntut Perbaikan Jalan

apahabar.com, MARABAHAN – Termasuk salah satu sentra nanas di Barito Kuala, infrastruktur jalan di Desa Jelapat…

Petani nanas di Desa Jelapat, Mekarsari, Barito Kuala menuntut perbaikan jalan, salah satunya agar tidak bergantung lagi dengan tengkulak.Foto ilustrasi-Antara

apahabar.com, MARABAHAN – Termasuk salah satu sentra nanas di Barito Kuala, infrastruktur jalan di Desa Jelapat II, Kecamatan Mekarsari, ternyata belum mendukung.

Hampir sebagian besar struktur jalan desa masih dari tanah. Juga tidak begitu luas, terutama akses menuju perkebunan.

Situasi itu sedikit banyak mempersulit hubungan langsung petani dengan penjual. Imbasnya mereka pun banyak tergantung kepada tengkulak.

“Kami berharap dilakukan perbaikan jalan sepanjang sekitar 8,6 kilometer. Dimulai dari ujung akhir Desa Tinggiran darat hingga memasuki Desa Jelapat Baru,” ungkap Ketua Gapoktan Jelapat II, Armain, Kamis (19/11).

“Oleh karena tergantung kepada tengkulak, harga pun dapat ditekan. Mereka membeli nanas dari petani seharga Rp5.000, tapi kemudian dijual menjadi Rp10 ribu,” sambungnya.

Namun keinginan warga belum terealisasi dalam waktu dekat. Kemungkinan besar peningkatan jalan poros kecamatan itu baru dilakukan dalam triwulan akhir 2021.

“Berhubung masih pandemi dan penyusunan RKA 2021 sudah selesai, peningkatan jalan di Jelapat II dapat dilakukan dalam APBD Perubahan 2021,” jelas Saberi Thanoor, Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Batola.

“Memang tidak semuanya dapat diperbaiki, tapi minimal menangani sektor-sektor yang parah. Terlebih ancaran peningkatan jalan dari pasir menjadi pasir, minimal Rp1 miliar per 1 kilometer,” imbuhnya.

Ternyata tidak cuma infrastruktur. Terdapat problem lain yang menjadi pekerjaan rumah dalam pengembangan Jelapat II menjadi kawasan agrowisata petik buah nanas.

Petani setempat mengeluhkan ketiadaan peralatan mekanis seperti excavator untuk mengolah lahan. Padahal dibutuhkan bedengan sebagai media tanam nanas.

Setidaknya harus dibuat bedengan setinggi lebih dari 1 meter yang berguna menghindari nanas dari genangan air, terutama setiap musim hujan.

“Memang masih mungkin dibuat manual menggunakan cangkul, tapi banyak menguras waktu dan tinggi bedengan cuma bisa di bawah 1 meter. Sebaliknya kalau pakai excavator, bedengan dapat dibuat lebih tinggi,” cetus Syahrian, salah seorang petani nanas di Jelapat II.

Kendala juga ditemui pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang mengolah makanan berbahan dasar nanas seperti sirup, dodol, selai, jelly dan minuman sari nanas.

“Semua produk tersebut masih diolah secara manual, sehingga kami kesulitan meningkatkan produksi,” sahut Hatriah, anggota Kelompok Wanita Tani Karya Bunda Bersama di Jelapat II.

“Kami menginginkan solusi berupa fasilitas penunjang, sehingga produksi makanan berbahan nanas meningkat,” harapnya.

Terkait pengolahan lahan, Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura (Distan TPH) Batola sudah bersedia meminjamkan satu unit excavator PC 50.

“Namun excavator mini itu baru dapat dipakai akhir Desember 2020, karena sedang digunakan untuk optimalisasi lahan pertanian di kecamatan lain,” jelas Murniati, Kepala Distan TPH Batola.

Demikian pula solusi yang diinginkan pelaku UMKM pembuat panganan berbahan nanas dari Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan (Diskoperindag) Batola.

Direncanakan mereka ditampung di rumah produksi yang diperkirakan rampung dibangun pertengahan Desember 2020.

“Seiring keberadaan rumah produksi di Mekarsari, pembuat panganan dari nanas dapat bekerja secara kelompok memanfaatkan fasilitas yang tersedia,” janji Purkan, Kepala Diskoperindag Batola.