Kalsel

Dualisme Pajak DJP vs Pemkot Banjarbaru, Toko Roti Kena Getahnya

apahabar.com, BANJARBARU – Spanduk berukuran besar yang dipasang di depan toko roti di Banjarbaru menarik perhatian…

Spanduk warna merah dengan tulisan “Objek Pajak Ini Belum Melunasi Kewajiban Perpajakan Daerah” dipasang oleh BPPRD Kota Banjarbaru sebagai bentuk protes kepada Ombudsman Kalsel. Foto-Nurul Mufidah

apahabar.com, BANJARBARU – Spanduk berukuran besar yang dipasang di depan toko roti di Banjarbaru menarik perhatian masyarakat.

Spanduk warna merah dengan tulisan “Objek Pajak Ini Belum Melunasi Kewajiban Perpajakan Daerah” dipasang oleh Badan Pengelolaan Pajak dan Retribusi Daerah (BPPRD) Kota Banjarbaru.

Tak hanya spanduk, mereka juga memasang stiker dengan pesan yang sama di bagian kaca di samping pintu masuk toko.

Kepala BPPRD Kota Banjarbaru, Rustam Effendi, mengatakan pihaknya memasang spanduk sebagai bentuk protes kepada Ombudsman Kalsel.

“Polemik pajak toko roti ini sebenarnya sudah cukup lama. Sudah dua tahun terakhir. Ini kita anggap permasalahan krusial. Bukan soal tokonya yang tidak membayar pajak, tapi sengketa dari dualisme status pajaknya,” katanya.

Rustam bercerita awalnya pajak toko roti itu masuk ke kas daerah selama periode 2016-2019. Sesuai UU 28 tahun 2009, kata dia, seharusnya pajak tersebut masuk ke pajak daerah.

Namun, BPPRD terkejut ketika mengetahui pajak itu malah masuk ke pusat tanpa pemberitahuan ke Pemkot Banjarbaru.

“Di UU jelas, bahwa segala aktivitas jual beli makan dan minum yang menyediakan tempat harusnya pajaknya daerah. Nah ini kenapa malah ke DJP, di toko mereka ada tempat makan dan minumnya,” ujarnya.

Tahun lalu, Ombudsman RI mencoba menengahi dualisme pajak yang dipimpin oleh Kepala Ombudsman RI dan pihak terkait.

Dari pertemuan itu diperoleh kesepakatan agar penentuan status pajak toko roti harus dirembukkan. Kedua belah pihak diharuskan melakukan survei ke lokasi.

Namun tak ada tindak lanjut setelah pembahasan. Kemudian, pada Desember 2020, Ombudsman Provinsi Kalsel tiba-tiba mengeluarkan keputusan sepihak.

“Sekonyong-konyong Ombudsman Provinsi memutuskan bahwa pajak ini masuk pusat (DJP). Padahal sesuai hasil diskusi dengan pusat (Ombudsman RI) disepakati harus dilakukan survei bersama dulu. Nah, sampai sekarang kita tidak ada survei,” ucapnya kecewa.

Keputusan Ombudsman Provinsi Kalsel ini, lanjut dia, telah menciderai kesepakatan sebelumnya dan tidak menghargai pihak Pemkot Banjarbaru yang tidak diajak dalam proses diskusi.

“Setelah surat putusan Ombudsman Kalsel itu terbit, 10 hari setelahnya kepala daerah kita bersurat menyatakan protes atas keputusan tersebut, namun sampai sekarang tidak ada respons dan balasan dari mereka,” klaim Rustam.

Akhirnya, saat ini pajak toko yang jumlahnya berkisar 16 hingga 17 juta perbulannya tersebut masuk ke DJP. Sebab pengelola toko berpegangan pada surat putusan Ombudsman Kalsel.

“Kita anggap masalah sengketa ini belum selesai. Kita juga sudah lakukan upaya-upaya koordinasi, namun tak digubris. Kita berharap pihak Ombudsman Kalsel bisa lebih transparan dalam mengakomodir persoalan di daerah, terlebih sebelumnya juga sudah disepakati harus ada survei bersama dulu baru ditentukan status pajaknya masuk mana,” tuntasnya.