News

Dua Tahun Pandemi, Pakar Covid-19 ULM: Indonesia Masih Belum Belajar dari Pengalaman

apahabar.com, BANJARMASIN – Dua tahun sudah pandemi Covid-19 melanda Indonesia sejak kasus konfirmasi pertama pada 2…

Penanganan pandemi di Tanah Air mendapat banyak catatan kritis dari Pakar Covid-19 ULM. Foto-Dok/apahabar

apahabar.com, BANJARMASIN – Dua tahun sudah pandemi Covid-19 melanda Indonesia sejak kasus konfirmasi pertama pada 2 Maret 2020. Hingga kini situasinya tidak benar-benar terkendali.

Sederet catatan kritis dibeberkan Pakar Covid-19 Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Hidayatullah Muttaqin, terkait penanganan virus menular di Tanah Air.

Dalam rentang dua tahun, tercatat sebanyak 5,63 juta penduduk terkonfirmasi positif Covid-19. Bahkan lebih dari 149 ribu jiwa lainnya harus melayang.

Menurut Muttaqin, penanganan pandemi di Indonesia sepanjang 2020 tidak menempatkan kesehatan sebagai leading sector.

"Bahkan di awal pandemi, ada sejumlah pejabat di pusat yang menjadikan virus corona dan Covid-19 sebagai bahan candaan," ucapnya kepadaapahabar.com, Kamis (3/3).

Pada 2020 tercatat 743 ribu penduduk terinfeksi Covid-19. Sebanyak 611 ribu warga berhasil sembuh, sedangkan 22 jiwa meninggal dunia.

Memasuki 2021, lanjut dia, dunia mendapatkan angin segar dengan telah selesainya hasil uji klinis sejumlah vaksin. Berbagai negara juga telah memberikan izin darurat untuk penggunaannya ke masyarakat umum.

Sejak awal tahun itu, vaksinasi pun dimulai di banyak negara, termasuk Indonesia. "Namun masalahnya, kita masih belum terlalu serius dalam menangani pandemi dan kurang mau belajar dari pengalaman," ungkapnya.

Kemudian, mobilitas penduduk di akhir tahun 2020 tidak terkendali. Akibatnya terjadi ledakan Covid-19 sejak awal tahun 2021. Selain itu, meski capaian vaksinasi rendah, pemerintah malah melonggarkan aktivitas masyarakat demi menjaga pertumbuhan ekonomi.

Hasilnya, masuk varian delta yang dinilai sangat berbahaya. Terjadilah ledakan Covid-19 yang sangat besar pada pertengahan 2021. "Akibatnya puluhan ribu nyawa melayang dalam waktu singkat," ujar Taqin.

Sejak gelombang delta melanda Tanah Air, Taqin menilai pemerintah mulai serius melakukan penanganan pandemi. Vaksinasi pun dipercepat. Sementara asesmen situasi Covid-19 di tiap daerah menggunakan standar WHO dengan indikator yang mudah diukur. Kasus pun mulai menurun sejak September hingga November 2021.

Guncangan varian delta pada tahun 2021 telah melambungkan jumlah penduduk yang dinyatakan terinfeksi Covid-19 sebanyak 4,7 kali lipat dan jumlah korban kematian melonjak 5,5 kali lipat tahun 2020.

"Tentu data resmi tersebut tidak menggambarkan situasi riil yang terjadi karena banyaknya kejadian yang tidak terdata khususnya di daerah-daerah," kata dia.

Situasi pandemi yang mulai terkendali dan turunnya level PPKM di tiap daerah ke tingkat 1 dan 2 menimbulkan euforia berlebih masyarakat, sehingga protokol kesehatan menjadi kendor dan mobilitas penduduk melonjak.

Di saat WHO mengumumkan varian Omicron sebagai variant of concern, pemerintah justru melonggarkan kebijakan pengendalian mobilitas di akhir tahun.

"Pelajaran yang pernah diperoleh dari kejadian akibat pelonggaran akhir tahun 2020 tidak dipakai pemerintah pusat," Muttaqin menyayangkan.

Dampaknya, varian Omicron yang diremehkan tersebut masuk menyebar dari para pelaku perjalanan luar negeri sejak akhir November 2021.

Sejak Desember virus varian Omicron mulai bertransmisi lokal, khususnya di daerah ibu kota Jakarta. Namun, pemerintah tetap tidak melakukan pembatasan di akhir tahun.

Alhasil, sejak Januari hingga 2 Maret 2022, kebijakan pelonggaran untuk mendorong pertumbuhan ekonomi tersebut telah menyebabkan 1,37 juta warga dikonfirmasi positif Covid-19 dan 4.942 dilaporkan meninggal dunia.

"Jumlah korban yang amat banyak tersebut seharusnya tidak perlu terjadi jika kita tidak menganggap remeh omicron, pemerintah cepat dan tegas melakukan mitigasi dan masyarakat patuh terhadap protokol kesehatan," pungkasnya.