Opini

#DiRumahAja dan Kita yang Sebentar Lagi Menjadi Gila

Oleh Puja Mandela Di sebuah grup WhatsApp yang anggotanya adalah bapak-bapak komplek perumahan, seseorang mengirimkan pesan…

Ilustrasi-Zulfikar/apahabar.com

Oleh Puja Mandela

Di sebuah grup WhatsApp yang anggotanya adalah bapak-bapak komplek perumahan, seseorang mengirimkan pesan yang isinya kurang lebih begini: Duh, huruf-huruf merek mobil, kok, berantakan gini? Ayo asah otak, susun yang bener sambil inget-inget mobil idaman kita.

Pada alinea berikutnya, ada daftar 50 merek mobil yang setiap hurufnya disebutkan secara acak. Anggota grup kemudian diminta untuk menebak merek mobil yang tepat sesuai clue yang tersedia. Sebagai contoh, Aototy untuk Toyota, Zadam untuk Mazda, dan Tumishibis untuk Mitsubishi.

Setelah sempat ramai dengan balas-balasan chat antar anggota grup, suasana kembali hening. Dari 50 merek, mereka hanya mampu menjawab 30. Beberapa merek yang hurufnya diacak seperti ‘Itubag’ atau ‘Rokehece’ belum berhasil dijawab. Barangkali merek mobil itu tidak populer atau mungkin memang tidak pernah dirilis di Indonesia.

Permainan tebak-tebakan itu ternyata tak hanya muncul di grup warga komplek. Di WhatsApp Grup lainnya yang sebagian besar anggotanya adalah para dosen, budayawan, guru dan seniman, juga muncul tebak-tebakan serupa. Para anggota grup yang rata-rata intelek itu diminta menjawab sebuah tebak-tebakan yang sejatinya hanya cocok dimainkan oleh anak-anak sekolah dasar. Misalnya seperti: Sebutkan nama-nama buah yang huruf terakhirnya “M”.

Percakapan grup tiba-tiba hening. Saya sendiri cukup memahami bahwa tidak mungkin seseorang yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi seperti doktor, apalagi profesor, harus menjawab kuis recehan semacam itu. Kalau pun terpaksa menjawab, tentu harus dilakukan secara diam-diam, di suatu tempat yang sangat rahasia.

Beda di WhatsApp, beda pula di Facebook. Di situs jejaring yang konon hanya diisi generasi purba itu, tiba-tiba muncul permainan baru berupa tantangan-tantangan—yang entah dibuat oleh agen Yahudi atau agen minyak tanah—agar beranda fesbuk diisi dengan konten-konten positif. Itu dimaksudkan untuk mengimbangi wajah murung jagat maya karena makhluk bernama Corona dengan inisial Covid-19.

Sebagian fesbuker yang memang sedang kurang kerjaan jelas langsung menangkap peluang itu. Lumayan untuk menghibur diri daripada terus-terusan nyebar hoax. Sebab, di tengah kegalauan dan penderitaan seperti sekarang, hiburan-hiburan kecil nan sederhana bisa menjadi sesuatu yang amat berharga.

Para netizen yang budiman pun mulai memosting tantangan itu dengan caranya masing-masing.

Ada yang memajang foto bersama sepeda ontel kebanggaannya, ada guru yang mengunggah foto bersama murid-muridnya saat belajar via online, ada yang memamerkan foto selfie bersama ikan saat memancing, dan tak sedikit ibu-ibu yang memajang foto bersama suaminya. Semua postingan itu selalu dibubuhi kepsyen: Tantangan diterima!

Seperti dalam banyak hal di dunia yang selalu menimbulkan pro dan kontra, tantangan ala fesbuk itu pun tak disukai sebagian orang. Malah di antara mereka ada yang nyeletuk: Itu yang posting ‘tantangan diterima’ tolong hati-hati kalau ditantangin pajang foto sama suami. Khawatir suaminya sama!

Hahaha… Saya tertawa.

Begitulah cara kreatif masyarakat Indonesia melawan wabah Corona. Di balik kerecehannya, ada optimisme yang besar agar hidup di tengah penderitaan bisa dijalani dengan ketawa-ketiwi, meskipun di sisi lain nampak receh dan kurang kerjaan.

Sejak Presiden Joko Widodo mengumumkan pasien positif Covid-19 pertama di Indonesia pada 2 Maret 2020, wajah media massa kita memang didominasi oleh kemurungan. Sejak saat itu, pemberitaan di televisi, media online, dan koran-koran dijejali dengan informasi seputar Corona dan kemungkinan-kemungkinan yang mengiringinya.

WNI pertama yang tertular Corona diketahui berusia 31 tahun. Ia tertular virus dari seorang warga Jepang di sebuah acara klub dansa Paloma & Amigos, Jakarta.

Sejak saat itu, orang-orang mulai khawatir. Suara-suara imbauan untuk waspada mulai terdengar. Artikel dan reportase dari para jurnalis mulai banyak menghiasi layar smartphone dan televisi. Dugaan-dugaan liar berseliweran: Jangan-jangan tidak cuma satu. Jangan-jangan?

Pada kenyataannya, dugaan-dugaan itu terbukti. Pasien kedua pun mulai terungkap. Dia adalah teman dari pasien nomor satu itu sendiri. Saat pasien pertama mengeluhkan batuk, sedikit demam, dan lemas, pasien kasus 2 menemaninya berobat jalan. Pada 20 Februari 2020, pasien kasus 2 juga mengalami sakit sampai pada akhirnya keduanya diumumkan positif Covid-19 pada 2 Maret oleh Pak Jokowi.

Setelahnya, kasus Covid-19 terus bermunculan. Wilayah yang menyumbang kasus terbanyak adalah DKI Jakarta. Pemerintah pusat yang sebelumnya menanggapi dengan santai pun mulai keteteran. Kita tentu masih ingat statement seorang pejabat negara yang menyebut Indonesia aman dari Corona karena masyarakat negeri ini doyan makan nasi kucing. Ya, betul. Pernyataan itu disampaikan oleh Menteri Perhubungan. Tapi saat itu, Pak Menteri sudah menyampaikan bahwa obrolannya itu sekadar gurauan bersama Presiden Jokowi.

Seperti biasa, ucapan itu itu dikutip oleh media dan menjadi headline di mana-mana. Kita pun tahu, kalau ada pernyataan semacam itu, apa yang akan dilakukan oleh para netizen budiman di negeri berflowers ini? Ya, jawabannya adalah bullying. Saya menyebutnya ‘pembulian duniawi’. Selain itu, ada lagi beberapa candaan pejabat negara soal Corona yang viral. Misalnya seperti komentar dari Pak Menteri Airlangga yang menyebut Corona tidak bisa masuk di Indonesia karena izinnya berbelit-belit.

Tantangan dan permainan-permainan receh yang muncul di WhatsApp dan Facebook itu barangkali hasil kerja dan kreativitas masyarakat yang terinspirasi langsung oleh pernyataan-pernyataan para pejabat kita, yakni melawan Corona dengan cara cengengesan. Saya kira ini fenomena baru sekaligus langka. Jarang-jarang ada pejabat yang benar-benar menginspirasi rakyatnya sampai ke level akar rumput.

Persis sebelum tulisan ini saya akhiri, muncul status seorang teman di beranda fesbuk yang sudah diunggah beberapa hari lalu. Rupanya dia juga sedang memainkan gim-gim unik selama masa ‘karantina’. Hanya saja permainannya nampak berbeda dibandingkan mainan ala anggota grup wasap dan fesbuk yang saya temui.

“Ngagetin cicak seru, nih!” katanya dalam status tersebut. Tak lama berselang status dari akun yang sama muncul lagi. “Ngajakin ngobrol kucing di rumah. Ya, siapa tahu bisa diajak ngobrol nyaingin cangkemnya netizen…”

Saya sendiri kurang paham, sosok pejabat seperti apa yang menginspirasi dirinya hingga kawan saya dengan pedenya, dan mungkin juga disertai restu orang tua, mau melakukan hal konyol dan tidak keren semacam itu.

Ya, segila apapun kita, untuk saat ini memang lebih baik #DiRumahAja, sembari melawan Corona dengan riang gembira.

***

Penulis adalah redaktur apahabar.com