Hot Borneo

Dimediasi Polres Kotabaru, Goa Lowo Kembali Dibuka

apahabar.com, KOTABARU – Dimediasi Polres Kotabaru, objek wisata Goa Lowo di Desa Tegalrejo, Kecamatan Kelumpang Hilir,…

Mediasi persoalan klaim lahan atau jalan menuju kolam renang Goa Lowo dimediasi Polres Kotabaru. Foto: Istimewa

apahabar.com, KOTABARU – Dimediasi Polres Kotabaru, objek wisata Goa Lowo di Desa Tegalrejo, Kecamatan Kelumpang Hilir, akhirnya kembali dibuka, Jumat (6/5) sore.

Proses mediasi itu berlangsung di Kantor Desa Tegalrejo yang dihadiri Kabag Ops Polres Kotabaru, Kasat Reskrim dan Kasat Intelkam.

Kemudian Sekdes Tegalrejo, perwakilan Kecamatan Kelumpang Hilir, ahli waris pemilik lahan Nurul Huda, BUMDes pengelola wisata Goa Lowo, kuasa hukum ahli waris Gravven Marvelo dan 10 orang perwakilan warga setempat.

Akhirnya setelah melalui pembicaraan yang cukup panjang antara pihak terkait, diputuskan Goa Lowo kembali dibuka untuk umum.

Pembukaan kembali tersebut ditandai dengan pembongkaran pagar seng dan kawat yang dipasang ahli waris selama beberapa hari terakhir.

“Kehadiran kami dalam mediasi ini berkaitan dengan upaya menjaga sitkamtibmas, serta membantu menyelesaikan permasalahan lahan di Goa Lowo,” ungkap Kabag Ops Polres Kotabaru, Kompol Agus Rusdi Sukandar.

“Kami telah meminta kepada ahli waris agar legowo membuka pagar seng dan kawat, karena sudah banyak wisatawan yang mengunjungi Goa Lowo,” imbuhnya.

Selanjutnya kesepakatan hasil mediasi itu dituangkan dalam berita acara. Lantas demi keamanan, kawasan Goa Lowo akan dijaga TNI dan Polri selama libur lebaran.

Menyikapi hasil mediasi itu, BUMDes Tegalrejo berharap Goa Lowo kembali menjadi salah satu destinasi favorit warga dalam menghabiskan cuti bersama lebaran.

“Kami berterimakasih kepada TNI dan Polri atas mediasi ini, sehingga Goa Lowo menjadi aman dan nyaman untuk masyarakat yang berkunjung,” sahut Gus Tri Widodo, Direktur BUMDes Tegalrejo.

Mediasi Berlangsung Alot

Sebelumnya dalam proses mediasi, Kasat Reskrim AKP Abdul Jalil sempat mempertanyakan dasar ahli waris menutup akses menuju Goa Lowo. Terlebih berdasar Undang-Undang Agraria, teridak terdapat istilah lahan kosong.

“Sementara itu merupakan lahan restan atau cadangan yang dimiliki negara. Lahan tersebut dibolehkan dikelola, tapi tidak dapat dimiliki,” papar Abdul Jalil.

“Makanya kami meminta tidak satu pun pihak yang memaksakan kehendak dalam permasalahan ini, mengingat lahan tersebut bukan tanah adat atau ulayat,” imbuhnya.

Sementara Gravven Marvelo sempat keberatan, karena menilai BUMDes Tegalrejo tidak berkoordinasi kepada ahli waris untuk membuka pagar Goa Lowo.

“Telah diketahui bersama bahwa gugatan kami di pengadilan telah ditolak. Namun kami akan mengajukan banding kembali sebelum batas waktu 20 Mei 2022 yang ditentukan pengadilan,” jelas Gravven.

“Makanya selama proses banding di pengadilan, kami akan melakukan penutupan sampai dengan hasil putusan akhir,” tegasnya.

Graven juga menyebut telah memiliki kesaksian pelaku sejarah yang bersaksi di pengadilan bahwa lahan tersebut dikelola mendiang M Mukmin sejak 1983, serta telah dibuatkan segel mulai 2002.

Oleh karena itu, ahli waris meminta kepada BUMDes Tegalrejo untuk membagi 50 persen hasil penjualan tiket masuk Goa Lowo.

Di sisi lain, Nurul Huda selaku ahli waris menjelaskan bahwa orang tuanya merupakan warga transmigran sejak 1982, ketika kawasan Goa Lowo masih hutan belantara.

“Apabila jalan tersebut dibuka. kami minta pembagian hasil sebanyak 50 persen dari penjualan tiket masuk. Kalau dilakukan pembebasan lahan, kami meminta ganti rugi sebesar Rp500 juta,” tegas Nurul.

Kemudian Suwono selaku perwakilan masyarakat setempat, menyesalkan persoalan klaim lahan di Goa Lowo. Sebagai warga transmigtasi 1983 angkatan ketiga dan pernah menjabat perangkat desa, Suwono memahami situasi itu.

“Berdasarkan instruksi Camat Kelumpang Hilir sejak 1995, bahwa radius 50 meter dari Goa Lowo tidak boleh dibuatkan segel. Alasannya lahan akan dijadikan sebagai kawasan pariwisata dan perkemahan,” jelas Suwono.

Suwono menentang pernyataan Nurul yang mengaku memiliki legalitas segel terbitan 2002 dan ditandatangani Tarsid selaku kepala desa.

“Sepengetahuan kami Tarsid sudah tidak menjabat kepala desa sejak 1998. Makanya kami menduga stempel yang tertera dalam segel milik mendiang M Mukmin bukan asli,” cetus Suwono.