Di Mekah, Erick Thohir Melihat Kostum Inter Milan

Di ranah olah raga, nama Erick Thohir sangat kondang. Dia anak bangsa pertama dan terakhir yang memimpin klub Inter Milan di kasta tertinggi Italia

Erick Thohir bersama pelatih Roberto Mancini di markas Inter Milan

apahabar, JAKARTA -- Diiringi sejumlah influencer kondang, Erick Thohir mendaftar untuk bursa calon Ketua Umum PSSI. Dia menjadi tumpuan untuk mengembalikan marwah sepakbola tanah air. Dia seakan menjadi jawaban dari ribuan harapan para suporter yang setia mendatangi stadion.

Di ranah olah raga, nama Menteri BUMN ini sangat kondang. Dia anak bangsa pertama dan terakhir yang memimpin klub Inter Milan di kasta tertinggi Liga Italia. Dia pun dikenal sebagai orang yang gandrung olah raga sejak usia belia.

Namun tahukah Anda kalau keputusan untuk membeli klub raksasa Liga Italia itu muncul saat umroh di Mekah, saat dirinya melihat sosok jamaah berkaos Inter Milan, yang di punggungnya terdapat tulisan Wesley Sneijder?

Dalam buku berjudul (Bukan) Kisah Sukses Erick Thohir yang ditulis Abdullah Sammy, Erick Thohir bercerita banyak tentang Inter Milan. Sejak masih kecil, dia sudah menyenangi klub yang identik dengan warna biru hitam itu.

“Saya mengidolakan Inter sejak kecil. Saat itu, ada trio Jerman yakni Lothar Matthaus, Andreas Brehme, dan Jurgen Klinsman,” katanya.

Mulanya, dia tak memiliki bayangan akan mengambil alih saham klub idolanya itu. Suatu hari, dia berkunjung ke Amerika Serikat. Ada satu private equity yang penasaran dengan Erick yang saat itu berinvestasi di klub MLS dan DC.

Rupanya dia ditawari untuk mengambil alih saham satu klub bola. Identitas klubnya masih dirahasiakan. Saat dia setuju, barulah diberi tahu kalau klub itu adalah Inter Milan yang diidolakannya sejak kecil. Dia terkejut.

Ada sejumlah keraguan di hatinya. Dia tak pernah khawatir soal dana, sebab punya banyak relasi bisnis dan rekanan yang siap membantu. Dia membayangkan betapa kerasanya persaingan klub bola di Italia. Apalagi, kakaknya Boy Thohir meragukan keputusannya.

Erick tetap maju. Dia punya prinsip, ketakutan dan pikiran negatif yang menghambat seseorang untuk maju.

“Saat kita terlalu negatif dalam berpikir, energi dan fokus akan terbuang percuma Berbisnis itu sudah sulit dan akan jauh lebih sulit jika kita hanya capai memikirkannya, ketimbang melaksanakannya,” katanya.

Baginya, kalkulasi bisnis tak selalu tepat. Kadang apa yang direncanakan tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Namun yang jadi soal, bukanlah kalulkasi yang salah, tapi bagaimana menyikapi semua tantangan.

“Masalahnya bukan pada benar dan salah, tapi bagaimana cara kita untuk agile, beradaptasi pada setiap perubahan,” katanya.

Dalam proses mengambil alih Inter Milan, dia mendapat pengalaman spiritual yang unik. Saat itu, dia terbang ke Madinah untuk umrah dan ziarah. Saat salat di Masjid Kubro, dia mendapati seorang jemaah memakai baju kebesaran Inter Milan bernomor punggung 10 dengan nama Wesley Sneijder.

“Saat itu saya kaget mengingat tidak biasa orang salat subuh pakai baju olahraga. Kebetulan bajunya adalah Inter Milan, klub yang saat itu ada dalam pikiran saya apakah akan ambil risiko investasi di situ, katanya.

Dia melihatnya sebagai pertanda. Baginya, tak ada sesuatu yang kebetulan. Kepada rekan yang menemaninya, dia berkata ini bisa jadi petunjuk, bisa jadi godaan.

Siangnya, dia kembali terkejut saat kembali di masjid dan menemui penampakan yang sama. Dia bertemu pria yang kembali berbaju Inter Milan. “Saya semakin percaya bahwa itulah salah satu petunjuk. Jadi, bismillah,” katanya.

Mulailah Erick mengambil-alih Inter Milan. Tantangan yang dihadapinya tidaklah mudah. Maklum, sepak bola Italia dikuasai banyak keluarga konglomerat berpengaruh. Mulai Berlusconi hingga Agnelli.

Saat itu, musim 2012-2013, kondisi Inter Milan tidak sedang fit. Klub itu finish di urutan sembilan. Performa klub sedang jatuh-jatuhnya. Saham klub juga terus menurun, dari 215 juta dollar AS menjadi 151 juta dollar AS.

Langkah pertama yang dilakukannya adalah mengajak pemain legendaris Inter Milan, yakni Zavier Zanetti untuk bergabung. Pria asal Argentina itu diangkat sebagai wakilnya. Dia juga mengajak mantan petinggi Manchester United, Michael Bollingbroke untuk bergabung.

Dia juga membeli pemain bintang. Di antaranya adalah Lautaro Martinez, Stefan de Vrij, Milan Skiniar, Alessandro Bastoni, dan Marcelo Brozovic.

Erick juga sering hadir di Stadion Guiseppe Meazza. Dia tak segan turun ke lapangan untuk menegur jajaran pelatih dan tim. Sahabat Erick, Muhammad Lutfi bersaksi, Erick pernah menegur langsung pelatih Roberto Mancini di lapangan. Saat itu, Mancini sudah menjadi pelatih besar.

“Saya akan selalu fair pada anggota saya. Tidak peduli latar belakangnya,” kata Erick.

Kinerjanya terus membuahkan hasil. Nilai ekonomis Inter Milan terus melonjak. Dari 151 juta dollar AS terus meroket hingga 475 juta dollar AS. Data Deloitte mencatat pertumbuhan bisnis Inter Milan yang pesat di masa Erick.

Hingga akhirnya di musim 2018/2019, Erick menyerahkan estafet klub yang kian stabil kepada Steven Zhang. Saat itu, dia baru saja mengemban amanah negara untuk mensuskseskan Asian Games di Jakarta.

Namun Inter Milan sudah jauh lebih baik dan stabil. Berkat pemasukan bisnis di era Erck, Zhang mendatangkan pelatih Antonio Conte, serta pemain kaliber, yakni Romelo Lukaku, Niccolo Barella, dan Achraf Hakimi. Tahun 2021, Inter Milan meraih scudetto.

Erick Thohir bersama Zavier Zanetti

Banyak kalangan yang menilai, keberhasilan itu adalah buah dari perjalanan panjang yang landasannya telah dibangun di era Erick Thohir. Keberhasilan klub adalah hasil dari kerja kolektif yang dilakukan banyak orang, termasuk adanya landasan kuat di era sebelumnya.

***

KINI, Erick Thohir menyatakan siap untuk menakhodai PSSI. Jika berhasil, tantangan yang dihadapinya kian berat. Di Italia, sepak bola telah lama menemukan keteraturannya. Ada banyak skandal yang melibatkan mafia, juga kartel, namun secara umum, publik Negeri Pizza itu tetap menjaga marwah sepak bola sebagai identitas bersama.

Dia belum tentu sukses di sini, di tanah yang sepak bolanya tanpa prestasi, namun bisa menyebabkan tewasnya pendukung hingga ratusan orang. Dia belum tentu bisa mengelola wasit, penonton, pengurus federasi, pemain, hingga pejabat publik yang terus mencari popularitas di sepak bola.

Di negeri ini, sepak bola ibarat rumah bermain yang dipenuh banyak mafia. Semua pihak hendak mengendalikan sepak bola demi berbagai kepentingan, entah itu politik ataupun kekuasaan.

Erick pun bisa terjebak dengan kepentingan jangka pendek, tanpa benar-benar menjadikan sepak bola sebagai etalase prestasi anak bangsa. Dia bisa saja menjadikan bola hanya sebagai batu loncatan untuk melesat.

Di luar kekhawatiran itu, niat baiknya untuk memimpin PSSI mesti didukung semua anak bangsa. Dengan pengalamannya di kancah sepak bola internasional, dia bisa menjadi lahan gembur bagi tumbuhnya kelopak bunga prestasi anak bangsa, yang memekar dan semerbak di panggung antar bangsa.

Dia bisa menjadikan sepak bola sebagai jalan terang untuk menampilkan sisi terbaik anak bangsa, yang selama sekian tahun kering kerontang tanpa tetes-tetes prestasi. Dia bisa membuat sejarah baru dan menunjukkan pada dunia tentang bangsa kita yang tangguh di laut, jaya di darat, serta penuh talenta di lapangan hijau.

www.timur-angin.com