Rumah Ibadah

Di Balik Kisah Istiqlal Berdampingan dengan Katedral

Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral sudah bertetangga lebih dari empat dekade. Dua rumah ibadah itu terkenal sebagai ikon toleransi antarumat beragama.

Istiqlal dan Katedral sebagai ikon toleransi (Foto: dok. Harian Haluan)

apahabar.com, JAKARTA - Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral sudah bertetangga lebih dari empat dekade. Dua rumah ibadah yang terletak di jantung Jakarta itu terkenal sebagai ikon toleransi antarumat beragama.

Namun, kisah di balik eksistensi ikon toleransi ini tak sesederhana yang dikira. Pembangunann masjid nasional di seberang rumah peribadatan umat Katolik itu bahkan sempat menuai silang pendapat di kalangan pendiri negara.

Setiadi Sapandi dalam bukunya yang berjudul Friedrich Silaban (2017) mengungkapkan bahwa Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ternyata memiliki pandangan berbeda terkait pemilihan lokasi Masjid Istiqlal.

Sarat Filosofis Politis

Rencana pembangunan Istiqlal pertama kali mencuat pada 1944, ketika segerombolan pemuka agama Islam mendatangi Bung Karno guna meminta izin membangun masjid agung di Jakarta.

Sang presiden pun menerima baik usulan tersebut, namun realisasinya tak serta merta dilakukan.

Baca Juga: Kenali Bahaya Etilen Glikol pada Obat Batuk yang Menyerang Ginjal

Barulah sepuluh tahun kemudian, tepatnya pada 1954, langkah pertama untuk mewujudkan rencana tersebut terlaksana.

Presiden Soekarno lantas menggelar sayembara bertajuk Rencana Gambar Masjid Istiqlal.

Tak berhenti di situ, Bung Karno pun turut menetapkan lokasi pembangunan Masjid Istiqlal. Solichin Salam dalam Masjid Istiqlal: Sebuah Monumen Kemerdekaan (1990) menilai keputusan Bapak Proklamator itu berlandaskan dalih politis.

"Benteng yang merupakan lambang penjajahan beradab-abad di Indonesia ini harus dibongkar betapapun jua sulit serta besar biayanya. Di atas bekas benteng penjajahan inilah kita bangun Masjid Istiqlal yang berarti merdeka atau kemerdekaan,” tegas Bung Karno.

Baca Juga: Perbedaan Mata Minus, Plus dan Silinder

Keputusan ini tak sejalan dengan pendapat Mohammad Hatta. Wakil presiden itu menyarankan agar masjid nasional dibangun di lingkungan Muslim dengan memiliki lahan kosong cukup luas. Tepatnya, di lokasi yang saat ini menjadi Hotel Indonesia.

Sempat Mangkrak

Pada 24 Agustus 1961, akhirnya dilakukan pemancangan tiang pertama Masjid Istiqlal.

Namun, pembangunan masjid nasional tersebut tak berjalan mulus. Malahan, sempat mangkrak lima tahun lamanya.

Baca berita selengkapnya di halaman selanjutnya...

Mangkraknya proyek nasional itu, salah satunya, dikarenakan suhu politik di Indonesia tengah memanas.

Terlebih lagi, Peristiwa G30S 1965 semakin melemahkan gelanggang kekuasaan Bung Karno, yang juga berpengaruh pada proyek kerjanya.

Barulah pada 1969, Presiden Soeharto mengambil alih pembangunan masjid nasional tersebut.

Memasuki periode 1970-an, Istiqlal yang semula masih berupa tiang-tiang raksasa tak beratap, mulai terlihat bentuknya.

Pembangunan pun rampung pada 1978. Filosofis bangunan ini masih sama seperti dulu: sebagai Masjid Monumen Kemerdekaan.

Istiqlal didedikasikan untuk menghormati para pejuang muslim yang gugur dalam memperjuangkan kemerdekaan Tanah Air.

Baca Juga: Kebakaran Kubah Masjid Jakarta Islamic Centre, 10 Mobil Damkar dan 55 Personel Dikerahkan

Bertetangga dengan Katedral

Sementara itu, Gereja Katedral yang berada di seberang Masjid Istiqlal, ternyata sudah eksis sejak zaman kolonial.

Tepatnya pada 1808, dua orang utusan Raja Louis dari Belanda datang ke Batavia untuk membangun tempat ibadah yang layak bagi umat Katolitk.

Bangunan asli Katedral pun pertama kali diresmikan pada 1810. Seiring berjalannya waktu, bangunan gereja itu juga makin menua, sehingga dibutuhkan renovasi. Namun, pemerintah kolonial enggan mengeluarkan dana.

Baca Juga: 5 Desa Ekowisata Menarik di Indonesia

Sampai akhirnya, pada 1826, Katedral sempat dilahap si jago merah. Kondisi bangunan makin parah, di mana puncaknya pada 1890, pilar gereja tak lagi mampu menopang berat bangunan, hingga benar-benar roboh.

Selang setahun kemudian, barulah renovasi dilakukan. Namun, inisiatif ini bukan berasal dari pemerintah, melainkan berkat dana patungan dari pemuka agama dan umat. Alhasil, pada 1901, Katedral resmi berdiri kembali.