Bisnis Smelter

Demi Ciptakan Nilai Tambah, Pemerintah Gencarkan Investasi

Indonesia masuk babak baru dalam transformasi menyeluruh terhadap kebijakan ekonominya sejak diterapkannya larangan ekspor bijih nikel pada 1 Januari 2020.

Aktivitas bongkar muat nikel di areal pabrik smelter milik PT Antam di Kecamatan Pomalaa, Kolaka, Sulawesi Tenggara. Foto: ANTARA

apahabar.com, JAKARTA - Indonesia masuk babak baru dalam transformasi menyeluruh terhadap kebijakan ekonominya sejak diterapkannya larangan ekspor bijih nikel pada 1 Januari 2020.

Larangan ekspor bijih nikel dilakukan untuk meningkatkan nilai tambah produk yang kerap disebut sebagai the mother of industry karena hasil pengolahan jenis logam ini menghasilkan produk turunan ke banyak sektor, mulai dari baja tahan karat, baterai, telepon genggam, hingga kendaraan.

Seiring dengan meningkatnya kebutuhan bahan baku nikel untuk produksi baterai dan kendaraan listrik, logam tersebut diyakini akan jadi primadona baru. Terlebih untuk mendukung kendaraan listrik yang digadang-gadang jadi industri masa depan.

Transformasi ini tentu mengubah model bisnis Indonesia pada masa lalu yang hanya mengandalkan skema "keruk dan jual".

Baca Juga: Bahlil Tantang Investor Asing Terlibat di Proyek Hilirisasi Indonesia

Dalam 3 tahun, kebijakan larangan ekspor pun berbuah manis. Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mencatat hingga awal 2023 sudah ada 43 pabrik pengolahan nikel di Tanah Air. Jumlahnya diperkirakan akan terus bertambah mencapai 136 smelter nikel pada tahun 2025.

Tidak hanya dari jumlah smelter yang terbangun, larangan ekspor demi menggenjot hilirisasi pun turut mengerek kinerja ekspor nasional.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan menegaskan hilirisasi di nikel mencatatkan peningkatan kinerja ekspor yang signifikan karena sepanjang 2017-2018, ekspor nikel hanya sekitar 3,3 miliar dolar AS.

"Namun, nilai ekspor produk turunan nikel melesat menjadi 20,9 miliar dolar AS pada 2021 dan bahkan mencapai 33,8 miliar dolar AS pada 2022 berkat hilirisasi," ungkapnya.

Baca Juga: KADIN: Kebijakan Hilirisasi Bauksit Jangan Cuma Bangun Smelter

Karena itu, Menteri Luhut memprediksi ekspor turunan nikel bisa meningkat dua kali lipat jika rencana hilirisasi hingga ke ekosistem industri baterai listrik bisa berjalan dalam 4 hingga 5 tahun ke depan.

"Jadi, kalau nanti kita sampai pada lithium battery, angka ini saya kira akan jauh lebih besar," katanya.

Fokus ke aspek hijau
Tidak sekadar mendongkrak kinerja ekspor, hilirisasi -khususnya untuk komoditas mineral dan tambang- juga dinilai akan mendorong pemerataan ekonomi Indonesia, mendongkrak daya saing produk, hingga melepaskan Indonesia dari jeratan status negara berpendapatan menengah (middle income trap).

Namun, Pemerintah menegaskan tidak semata-mata mengejar kuantitas investasi hilirisasi yang masuk,1 melainkan juga tetap mendorong kualitas aspek hijau sejalan dengan tren dunia yang kini tengah fokus pada industri hijau (green industry) dan energi hijau (green energy).

Baca Juga: Ramai Hilirisasi Nikel, Menteri Investasi: Libatkan UMKM Daerah

Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves Septian Hario Seto mengatakan sspek hijau dinilai akan mendukung daya saing produk hasil pengolahan mineral Indonesia. Dengan demikian, meski merupakan sumber daya alam tidak terbarukan, hasil hilirisasi mineral bisa mendapat label ramah lingkungan karena diolah secara lebih bertanggung jawab.

"Kita punya nikel terbesar dunia, timah nomor dua, bauksit nomor enam, tembaga nomor tujuh. Bagaimana ini semua kita bisa olah dengan renewable energy yang kita miliki sehingga daya hasil dari produk mineral ini memiliki karbon emisi yang rendah dan daya competitiveness-nya di pasar global akan semakin tinggi," ujarnya 

Di sisi lain, alih-alih mengejar satu proyek investasi dengan proyek investasi lainnya, Pemerintah membidik pengembangan ekosistem yang menyeluruh agar dampak pertumbuhan ekonomi di daerah lokasi investasi lebih signifikan.

Baca Juga: Indonesia Optimalkan Cadangan Nikel untuk Kembangkan Ekosistem Baterai EV

Hal itu sudah dilakukan dengan telah dimulainya proyek investasi industri baterai listrik terintegrasi dengan total 9,8 miliar dolar AS atau Rp142 triliun oleh konsorsium LG dan Indonesia Battery Corporation (IBC). Investasi tersebut meliputi penambangan bijih nikel, yang kemudian diolah menjadi prekursor dan katode, lalu menjadi sel baterai, battery pack, kendaraan listrik, hingga daur ulang baterainya.

Pada September 2021 lalu, proyek investasi dimulai dengan pembangunan pabrik sel baterai kendaraan listrik di Karawang, Jawa Barat.