Kalsel

Dari Penangkapan Abdul Wahid, Ada Potensi Tersangka Baru Kasus Fee Proyek HSU

apahabar.com, BANJARMASIN – Penetapan status tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Bupati Abdul Wahid, diprediksi…

Oleh Syarif
Setelah Bupati Abdul Wahid, diprediksi bukan menjadi babak akhir kasus suap proyek irigasi di Pemkab HSU. Foto-Istimewa

apahabar.com, BANJARMASIN – Penetapan status tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Bupati Abdul Wahid, diprediksi bukan menjadi babak akhir kasus suap proyek irigasi di Pemkab HSU.

Direktur Utama Advokat Borneo Law Firm, M Pazri berpandangan bakal ada lagi tersangka baru ke depan.

Apa dasarnya? Pazri bilang mengacu pada pasal gratifikasi yang digunakan KPK untuk menjerat AW alias Abdul Wahid dan sesuai Pasal 55 ayat (1) KUHP.

Berbunyi "orang yang turut serta melakukan perbuatan pidana, dipidana sebagai pelaku tindak pidana".

Jadi, menurutnya, berdasarkan Pasal 55 ayat (1) KUHP orang yang turut serta melakukan tindak pidana korupsi juga dipidana dengan ancaman pidana yang sama dengan pelaku tindak pidana korupsi.

"Prediksi saya ancaman hukuman pidana tidak hanya dikenakan kepada pelaku penerima gratifikasi saja, tetapi juga kepada pemberinya," kata Pazri kepada apahabar.com, Kamis (18/11) malam.

Dari kacamata hukum Pazri, KPK kemungkinan besar akan menguraikan dan mengungkap peristiwa hukum para pemberi fee sejak tahun 2019 dan 2020.

"Sehingga diyakini ke depan kemungkinan akan ada tersangka baru bagi para pihak yang terlibat," ujarnya.

Angka korupsi kasus ini dinilai tidak sedikit. "Bahkan bisa dibilang sangat fantastis," kata Pazri.

Dia berharap kasus yang menjerat Bupati Abdul Wahid bisa jadi pelajaran bagi para pejabat di Kalsel.

Menurutnya, kepala daerah yang berhasil melakukan tindakan korupsi disebabkan karena tiadanya integritas personal.

Kemudian, aktifitas korupsi kepala daerah mencerminkan gagalnya partai politik melakukan kaderisasi. Sehingga yang mengemuka adalah tokoh dengan moral politik rendah.

"Ini tentu peringatan keras bagi setiap partai politik untuk memilih kader terbaik dalam kontestasi Pilkada serta ongkos politik yang mahal ketika pilkada," singgungnya.

Selain itu, masih kata Pazri, kasus ini juga menandakan bahwa pengawasan dari DPRD maupun penegak hukum terhadap kepala daerah masih lemah.

"Alhasil, kepala daerah merasa menjadi raja kecil, dan bertindak di luar batas birokrat, di luar itu semua, tentu ada andil sistem politik daerah yang memberikan ruang bagi koruptor," pungkasnya.