Setop Cyberbullying

Dampak Psikologis dari Kasus Cyberbullying terhadap Remaja 

MEDIA sosial merupakan wadah atau sarana untuk seluruh kalangan melakukan interaksi sosial

ILUSTRASI cyberbullying: Dok. Shutterstock

Media sosial merupakan wadah atau sarana untuk seluruh kalangan melakukan interaksi sosial. Dengan menggunakan teknologi yang dapat mengubah komunikasi menjadi dialog interaktif. 

Reska Maulidya Warapsari, Banjarmasin

DENGAN teknologi memungkinkan suatu aktivitas dilakukan tanpa mengenal jarak dan waktu. Selain itu, dengan media sosial juga dapat digunakan untuk hal hal positif. Misalnya seperti berbagi, berpartisipasi dan menciptakan konten yang edukatif didukung oleh teknologi multimedia yang semakin canggih.

Media sosial memungkinkan informasi menyebar dengan mudah dan cepat sehingga memengaruhi cara pandang, gaya hidup, serta budaya manusia. Melalui media sosial pulalah manusia juga diajak berdialog, mengasah ketajaman nalar dan psikologis seseorang.

Namun, tidak disangkal bahwa pesan-pesan yang ditayangkan melalui media sosial ini dapat mengarahkan khalayak, baik ke arah perilaku prososial maupun antisosial (Pandie & Weismann, 2016).

Seiring dengan kemajuan dan perkembangan teknologi informasi tersebut, remaja sebagai pengguna cenderung lebih banyak menghabiskan waktu di dunia maya. Masa remaja menjadi masa peralihan.

Masa remaja sering diidentikkan sebagai masa individu mulai berusaha mengenal diri melalui eksplorasi dan penilaian karakteristik psikologis diri sendiri sebagai
upaya untuk dapat diterima sebagai bagian dari lingkungan.

Sebagian remaja mampu melewati masa peralihan ini dengan baik, namun beberapa remaja bisa jadi mengalami kenakalan remaja mulai dari kenakalan ringan hingga kriminal, termasuk di dalamnya kenakalan-kenakalan
berbentuk cyberbullying atau perundungan siber.

Dampak negatif internet yang bisa terjadi yaitu pornografi, kecanduan
internet, violence and gore atau kekejaman dan kesadisan, penipuan, carding, dan cyberbullying. 

Kasus cyberbullying sama seperti fenomena gunung es, di mana kasus yang terlihat di publik hanya sedikit padahal bisa saja sebenarnya kasus cyberbullying banyak terjadi.

Seseorang yang menjadi korban cyberbullying biasanya memiliki masalah sebelumnya dengan pelaku, seperti pelaku memiliki perasaan iri, dendam dan kebencian kepada korban atau bisa saja pelaku hanya sekadar menjadi bahan bercandaan dalam melakukan cyberbullying (Rahayu, 2012).

Cyberbullying adalah masalah besar, dan dapat menimbulkan beragam dampak negatif, para remaja yang mengalami cyberbullying dilaporkan merasa marah, sakit, malu atau takut.

Emosi-emosi tersebut dapat membuat korban bereaksi untuk membalas dendam pada pelakunya, menarik diri dari pergaulan dan aktivitas yang biasa dilakukan sebelumnya dan “berubah” menjadi sama-sama suka melakukan cyberbullying.

JENIS-JENIS CYBERBULLYING

Ilustrasi. 

1. Flaming (terbakar): yaitu mengirimkan pesan teks yang isinya merupakan kata-kata yang penuh amarah dan frontal. Istilah “flame” ini pun merujuk pada kata-kata di pesan yang berapi-api.

2. Harassment (gangguan): pesan-pesan yang berisi gangguan yang menggunakan
email, pesan selular, maupun pesan teks di jejaring sosial dilakukan secara terus menerus

3. Denigration (pencemaran nama baik): yaitu proses mengumbar keburukan
seseorang di internet dengan maksud merusak reputasi dan nama baik orang
tersebut

4. Impersonation (peniruan): berpura-pura menjadi orang lain dan mengirimkan
pesan-pesan atau status yang tidak baik

5. Outing: menyebarkan rahasia orang lain, atau foto-foto pribadi orang lain
6. Trickery (tipu daya): membujuk seseorang dengan tipu daya agar mendapatkan
rahasia atau foto pribadi orang tersebut
7. Exclusion (pengeluaran): secara sengaja dan kejam mengeluarkan seseorang dari grup online.
8. Cyberstalking: mengganggu dan mencemarkan nama baik seseorang secara intens sehingga membuat ketakutan besar pada orang tersebut.

DAMPAK PSIKOLOGIS DARI PERILAKU CYBER BULLYING

1. Psikologis dan Emosional: remaja merasakan takut, perasaan teror, kecemasan, penderitaan, kesedihan, stres dan gejala depresi. remaja kurang termotivasi untuk ke sekolah dan penurunannya tingkat konsentrasi atau nilai akademik.

2. Psikososial: remaja memiliki perasaan isolasi dan kesendirian, pengucilan dan bahkan penolakan sosial. Dampak negatif dari perilaku bullying dapat mempengaruhi segala aspek kehidupan (psikologis, fisik maupun sosial) yang akan terus mempengaruhi perkembangan selanjutnya.

Dalam ilmu psikologi pendekatan teori dalam kasus ini adalah teori perkembangan psikososial Erik Erikson. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa kebanyakan kasus cyberbullying terjadi pada individu usia remaja.

Pada teori perkembangan psikososial Erik Erikson, remaja masuk ke dalam tahapan kelima yaitu tahap identity versus identity confusion.

Dalam tahap ini Erikson menyebutkan istilah psychosocial moratorium, yaitu suatu
transisi para remaja, dari anak-anak yang masih membutuhkan tuntunan, menuju ke masa dewasa di mana remaja mulai menanggung beban tanggung jawabnya sendiri.

Dalam hal ini perlu adanya kewaspadaan dari orang tua, guru atau dosen serta orang di sekitar korban, untuk memperhatikan perubahan perilaku yang terjadi seperti sering murung, kurang percaya diri, malas beraktivitas, perubahan pola tidur dan pola makan, serta menarik diri dari kehidupan sosial.

Orang tua harus mengetahui media sosial yang digunakan oleh anaknya, sehingga bisa mengontrol jika ada masalah yang muncul dari media sosial yang digunakan. Diperlukan komunikasi yang terbuka antara orang tua dengan anak remaja sebagai bentuk antisipasi adanya cyberbullying.

Cyberbullying memiliki dampak yang dirasakan bukan hanya korban saja, melainkan pelaku, pelaku dan korban juga akan berdampak. Pada usia remaja banyak perubahan yang dialami seperti perubahan biologis, psikologis maupun perubahan sosial.

Ketika remaja memiliki konflik dengan lingkungan sekitarnya apabila tidak ditangani dengan baik akan berdampak negatif. Pada korban menimbulkan dampak seperti tertekan dan perasaan marah. Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Nixon (2014) bahwa kebanyakan dari target cyberbullying mengalami setidaknya satu gejala stres.

Selain itu untuk dampak fisik yang terjadi adalah sakit kepala dikarenakan korban memikirkan sesuatu hal yang terjadi pada dirinya salah satunya yaitu dengan adanya gas kejadian tindakan cyberbullying ini.

Selain itu seseorang yang menjadi pelaku bullying akan timbul dampak perasaan malu kepada korban dan lingkungan sekitar karena telah melakukan tindakan cyberbullying dan akan muncul dampak yang lebih parah lagi yaitu penurunan harga diri.

Pelaku akan takut dan malu bertemu dengan teman-temannya di sekolah dikarenakan akan banyak orang yang ikut menyalahi atas perbuatan yang dilakukan pelaku kepada korban.

PENCEGAHAN YANG DAPAT DILAKUKAN

Tindakan cyberbullying yang dilakukan oleh remaja di media sosial sudah semakin
mengkhawatirkan. Cyberbullying tidak hanya dapat berdampak negatif pada korban namun juga pada pelaku. Pelaku cyberbullying dapat dituntut pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Cyberbullying tentunya juga memiliki dampak yang merugikan bagi korban, yaitu dapat membuat harga diri rendah, penurunan nilai, depresi, kegelisahan, tidak tertarik pada aktivitas yang dahulunya dapat dinikmati, ketidakbermaknaan, penarikan diri dari lingkungan menghindari kehidupan sosial, bahkan perubahan suasana hati, perilaku, pola tidur dan nafsu makan.

Pencegahan yang dapat kita lakukan untuk menghindari perilaku cyberbullying dengan cara mengontrol diri sendiri dalam berperilaku terutama menggunakan media sosial dengan bijak, pertimbangkan sebelum memposting sesuatu di media sosial, memilih lingkungan sosial yang memiliki nilai dan ajaran yang positif, hindari memberikan informasi yang tidak valid, mencegah seseorang
agar tidak menjadi pelaku cyberbullying.

Diperlukan pula penerapan konsekuensi terhadap perilaku bullying: kehilangan hak tertentu, hukuman yang keras. Yang jelas setelah hukuman selesai maka siswa harus diterima oleh sekolah kembali. (*)

Penulis merupakan mahasiswa semester 4 Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Banjarmasin 

Reska Maulidya Warapsari. Foto: Dok.Pribadi