Tak Berkategori

Cerita Pilu Perempuan Afghanistan di RI tentang Rezim Taliban

apahabar.com, JAKARTA – Mimpi Barezira, bukan nama sebenarnya, dan banyak perempuan Afghanistan lain yang telah dipupuk…

Oleh Syarif
Ilustrasi perempuan Afghanistan. Foto-REUTERS/AHMAD MASOOD

apahabar.com, JAKARTA – Mimpi Barezira, bukan nama sebenarnya, dan banyak perempuan Afghanistan lain yang telah dipupuk selama dua dekade runtuh seketika dalam semalam.

Taliban berhasil menduduki Ibu Kota Kabul dan menuntut agar berkuasa lagi di Afghanistan pada Minggu (15/8), setelah perlahan merebut belasan kota ketika tentara Amerika Serikat berangsur keluar negara itu.

Ketakutan dan putus asa pun menghantui banyak perempuan Afghanistan, termasuk Berezira, akan masa depan di tangan rezim Taliban. Akankah perempuan Afghanistan ‘terpenjara’ lagi?

“Saya sangat sedih, untuk para perempuan yang tinggal di Afghanistan tanpa hak-hak kemanusiannya,” papar Barezira, perempuan Afghanistan yang telah luntang-lantung mengungsi di Indonesia sejak 2013 lalu.

“Ketika perempuan lain di seluruh dunia merayakan pencapaian dan kemajuan mereka, perempuan di negara saya mundur dengan dikurung di rumah oleh Taliban,” ujar perempuan 25 tahun itu, kutip CNNIndonesia.com.

Barezira merupakan satu dari 7.490 pengungsi Afghanistan yang saat ini ada di Indonesia mencari perlindungan dengan harapan mendapatkan suaka di negara ketiga. Sebelum merantau ke Jakarta, Berezira sempat melarikan diri ke Pakistan. Saat itu, umurnya masih tiga tahun.

Barezira lahir di bawah pemerintahan Taliban pada 1996-2021. Dia merasakan dengan cukup jelas bagaimana nasib kaum perempuan Afghanistan yang terkungkung pada masa itu.

“Saya masih ingat di malam kami melarikan diri dari Afghanistan, saya bersembunyi di sebuah truk dengan 40 orang lebih yang takut akan Taliban,” katanya.

Truk itu membawa dia dan rombongan warga Afghanistan lainnya yang ingin lari ke Pakistan.

Di usianya kini yang menginjak seperempat abad, Berezira merasakan kekhawatiran kaum perempuan Afghanistan hidup di bawah rezim Taliban meski dari jarak jauh.

“Hati saya hancur berkeping-keping. Saya memiliki orang yang saya cintai, kerabat, teman, kenangan masa kecil dan itu adalah perasaan terburuk,” tutur Barezira.

Barezira berupaya menghubungi kerabat dan keluarga yang masih ada di Afghanistan tak lama setelah Taliban mendeklarasikan kekuasaannya. Namun, hingga kini tak ada satu pun keluarganya yang merespons. Mereka diduga kabur ke luar negeri untuk mengamankan diri karena takut dibunuh.

“Setiap kali saya berhasil menghubungi mereka, saya merasa kecewa karena tidak bisa membantu mereka. Saya hanya bisa menawarkan telinga saya untuk mendengarkan ketakutan dan kekhawatiran mereka tentang kembalinya kelompok ini,” kata Barezira.

Barezira bercerita bahwa kerabat perempuannya di Afghanistan takut akan masa depan mereka di tangan Taliban.

“Menganggap diri Anda sebagai perempuan yang tinggal di Afghanistan tanpa hak mendapat pendidikan, pekerjaan atau bahkan dihitung sebagai manusia bagaimana rasanya?” papar Barezira sedikit geram.

Barezira menuturkan tak ada yang bisa diharapkan dari janji manis Taliban meski kelompok itu menegaskan akan memerintah dengan lebih terbuka dan melindungi hak perempuan.

“Satu-satunya hal yang dapat mereka (Taliban) berikan kepada orang-orang adalah ketakutan dan siksaan,” kata Barezira.

Ia mengaku khawatir Taliban memperlakukan penduduk, terutama kaum perempuan, seperti dulu yang serba mengekang mulai dari melarang bersekolah, bekerja dan meniti karir, bepergian tanpa wali pria, hingga mewajibkan wanita menggunakan pakaian burkak.

Meski usianya kala itu masih belia, ia ingat betul bagaimana kekejaman Taliban terhadap warga sipil. Milisi Taliban bahkan tak ragu-ragu menembak warga dan perempuan yang dinilai mereka melanggar aturan.

Masa-masa itu, kata Barezira, adalah mimpi buruk. Setiap hari masyarakat dihantui ketakutan jika siap keluar rumah berarti siap meregang nyawa. “Saya ingat bagaimana mereka menembak seorang perempuan yang tidak bersalah di depan ratusan orang tanpa kejahatan, yang baru saja keluar dari rumah untuk membeli kebutuhan sehari-hari,” katanya.

Senada dengan Birizire, perempuan muda Afghanistan yang juga mengungsi di Indonesia, Atifah, tak percaya dengan janji-janji manis Taliban.
“Saya tidak percaya pada janji Taliban karena mereka berbohong. Mereka masih membunuh perempuan, laki-laki, anak-anak di Afghanistan,” ucap Atifah.

Atifah juga memiliki kenangan buruk dengan Taliban. Ayah Atifah bercerita bahwa kakeknya menjadi salah satu yang dibunuh Taliban pada 2007.

“Mereka membunuh kakek saya. Itu benar-benar membuat saya sedih. Saya bahkan tak sempat melihat kakek saya,” tuturnya.

Saat orang-orang di penampungan membicarakan kebangkitan rezim Taliban, gadis berusia 15 tahun itu langsung teringat kakeknya.

Tak hanya kaum perempuan, Taliban yang kembali ke pucuk kekuasaan di Afghanistan juga menjadi mimpi buruk bagi sebagian pemuda di negara itu.

Salah satu pengungsi asal Afghanistan di Kalideres, Jakarta Barat, H Rateeq, masih meragukan niat Taliban yang berjanji membangun pemerintahan dengan wajah baru yang lebih moderat.

“Kami akan senang jika Taliban membuktikan bahwa mereka benar-benar ingin membawa perdamaian dan membiarkan orang menjalani hidup dengan damai, tapi sayangnya justru sebaliknya,” kata H Rateeq.

Taliban sejauh ini berjanji tak akan membalas dendam dan memberikan pengampunan bagi pendukung pemerintah Afghanistan yang digulingkan dan ingin bergabung dengan mereka. Namun, H Rateeq menganggap itu hanya bualan Taliban.

“Mereka mulai mencari-cari orang dan melakukan penindasan di malam hari,” ujarnya.

Taliban disebut mulai mencari warga Afghanistan yang selama ini bekerja dan membantu pasukan AS dan sekutu.

“Kerabat saya tinggal di Jaghoori, Ghazni dan mereka mengatakan Taliban mulai mendatangi rumah pada malam hari, mencari orang-orang yang bekerja dengan pemerintah atau organisasi non-pemerintah,” ucap H Rateeq.