Tak Berkategori

Cerita Dokter Cantik di Lapas Balikpapan, Demi Pengabdian Menahan Ketakutan

apahabar.com, BALIKPAPAN – Debora Christi Sinaga, sama sekali tak menyangka bakal bertugas di Lapas Kelas II…

Oleh Syarif
Dokter Debora Christi saat memeriksa salah satu tahanan yang dirawat di klinik Lapas Klas II A Balikpapan. apahabar.com / Riyadi

apahabar.com, BALIKPAPAN - Debora Christi Sinaga, sama sekali tak menyangka bakal bertugas di Lapas Kelas II A Balikpapan. Demi sebuah pengabdian, dokter cantik berusia 28 tahun ini rela menahan takut.

Memang mengabdi di tempat berkumpulnya para narapidana ini bukanlah menjadi impian banyak orang. Namun hal ini harus dijalani Debora sebagai seorang profesional.

Debora mengaku dirinya sempat terkejut saat ditempatkan di Lapas Balikpapan. Perasaan takut dan cemas sempat pun menguasai diri. Namun langkah demi langkah ia coba lalui untuk beradaptasi dengan lingkungan para tahanan itu.

“Januari mulai ditempatkan di sini. Awalnya itu nggak nyangka banget. Yang tadinya saya dinas di rumah sakit tiba-tiba disuruh ke sini. Takut pastinya ada, cuma ya mau bagaimana lagi ini sudah menjadi tugas bagi seorang dokter,” kata wanita asal Pontianak ini.

Sekadar diketahui, Debora lulusan Universitas Methodist Indonesia (UMI) di Medan, Sumatera Utara lulus tahun 2016. Sebelum ditempatkan di Lapas Balikpapan, ia sempat menjalankan tugas di Rumah Sakit OMNI Cikarang.

Awal menjalani tugas sebagai dokter di Lapas Balikpapan ia pun sempat gemetar dan diselimuti ketakutan. Bagaimana tidak, pasiennya adalah para pelaku kejahatan.

Namun setelah melewati masa perkenalan dengan lingkungan, Debora justru senang dengan di tempat yang ia jalani saat ini.

“Ternyata nggak seperti yang orang banyak pikirkan bahwa di Lapas, semuanya jahat dan ngeri. Ternyata pas di dalam sini orangnya baik-baik dan mereka menghormati kita. Jadi mungkin ini sudah jalannya kali ya saya berada disini. Ya disyukuri aja dan dijalani aja,” ujarnya.

Memiliki paras cantik tentu menjadi daya tarik tersendiri bagi para tahanan yang berobat. Tak ayal dirinya sering mendapatkan sapaan hangat dari para tahanan.

“Sering aja sih kalau disapa-sapa gitu sambil senyum-senyum. Cuma kalau sampai jahil dan ngedoain banget sih sejauh ini belum ada,” ungkapnya.

Bukan berarti tak memiliki rasa takut, Debora bahkan pernah diamuk oleh tahanan yang mengeluhkan penyakitnya. Kala itu seorang tahanan Warga Negara Asing (WNA) asal New Zealand bernama Greg ini datang ke ruang Debora untuk diperiksa. Namun tiba-tiba pria yang ditangkap karena narkotika ini menggebrak meja dan memarahi Debora.

“Saya juga nggak tahu tiba-tiba dia datang terus dia pukul-pukul meja. Saya ya kaget dan takut juga. Cuma saya langsung minta tolong petugas yang lain untuk temanin saya. Katanya dia (Greg) ini kesakitan sama penyakit paru yang dideritanya,” terang Debora.

Kendala lain yang dihadapi ialah minimnya sarana dan prasarana di Lapas Balikpapan membuat tidak maksimalnya pelayanan kesehatan. Bahkan untuk ketersediaan obat pun sangat terbatas.

“Masih banyak yang belum ada. Yang paling dibutuhkan disini adalah obat-obatan. Belum lagi kamar tidurnya sudah tidak layak,” tuturnya.

Meski begitu Debora tetap ikhlas menjalani pengabdiannya sebagai seorang dokter untuk melayani para tahanan yang membutuhkan jasanya.

“Mungkin ini sudah takdir saya disini, anggap saja tuhan menempatkan saya disini untuk membantu mereka yang ada di dalam sini,” pungkasnya.

Senada dengan Debora, perawat Yunita pun saat ini telah menikmati pekerjaannya. Sebelum ditempatkan di Lapas, Yunita sempat bertugas di Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta Selatan.

“Sebelumnya di RS Fatmawati, ketika daftar PNS ditempatkan di sini, saya benar-benar belum pernah membayangkan bagaimana kerja di sini,” terang wanita berhijab ini.

Sebelum memutuskan untuk menjalankan tugasnya di Lapas, Yunita bercerita bahwa ia sempat ingin mengundurkan diri. Namun, berkat dukungan dari orang tuanya, ia tetap melanjutkan tugasnya dan terbukti hingga saat ini ia tampak nyaman merawat pasien di Lapas.

“Kebetulan juga orang tua saya Nakes dan pernah diperbantukan di klinik penjara. Katanya enak, ya sudah saya coba,” ujarnya.

Selama merawat pasien napi, ia menjelaskan tidak ada perbedaan dengan pasien-pasien di luar sana. Meski paradigma ‘orang jahat’ melekat pada napi, namun ia membuktikan, para napi di Lapas ini tetap baik hati.

“Prinsipnya menghadapi orang itu dengan pendekatan. Misalnya orang marah-marah jangan dihadapi dengan marah juga. Bisa omongin baik-baik, biar mereka tenang dulu. Sedikit demi sedikit pasti mau bercerita,” ucapnya.

Setiap hari Senin, Rabu dan Jum’at Debora dan Yunita menjalankan praktek. Di hari lainnya, mereka hanya stand by jika sewaktu-waktu ada kondisi gawat yang dialami oleh pasien napi.

Selain itu, penyakit yang banyak dikeluhkan oleh pasien napi antara lain adalah batuk, pilek, sakit perut, pusing, hingga lemas.