Tak Berkategori

Cara Mudah Meyakini Isra Mikraj, Begini Penjelasan Syekh Mutawalli Asy Sya’rawi

apahabar.com, BANJARMASIN – Hal-hal yang tidak masuk di akal, bukan berarti tidak benar. Karena kebenaran melampaui…

Syekh Mutawalli As Sya’rawi (kanan) bersama Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki. Foto-santrijagad.org

apahabar.com, BANJARMASIN - Hal-hal yang tidak masuk di akal, bukan berarti tidak benar. Karena kebenaran melampaui akal. Peristiwa isra mikraj misalnya, sulit untuk memahami dengan akal, namun kita diperintahkan untuk mengimaninya, meyakininya.

Nah, Syekh Muhammad Mutawalli As Sya'rawi Guru Besar Al Azhar Kairo pernah menjelaskan tentang isra dan mikraj dengan begitu rinci, sehingga memudahkan orang awam untuk memahami dan meyakini kebenaran cerita yang disampaikan dalam Kitab Suci Alqur'an.

Penjelasan itu disampaikan Syekh Mutawalli di acara bertema "Nur 'Alaa Nur", yang kemudian diterbitkan di Indonesia dalam sebuah buku berjudul, "Menyingkap Misteri Isra' dan Mi'raj".

Dalam penjelasannya, Syekh Mutawalli mengutip Quran Surah Al Isra' ayat 1 yang artinya, "Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada waktu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkati sekelilingnya. Untuk Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha melihat"

"Apabila Alquran menceritakan peristiwa, maka tidak ada sikap lain bagi kita, melainkan harus mengimaninya. Karena itu datangnya dari Allah. Dan tidak ada kewenangan bagi akal manusia untuk mengutak-atiknya, dengan menjadikan peristiwa di muka bumi sebagai tolok ukur untuk menguji kebeneran peristiwa yang disampaikan Allah melalui Alquran itu," tegas Syekh Mutawalli.

Kendati demikian, Syekh Mutawalli kemudian merincikan penjelasannya pada kata-kata di ayat tersebut.

Dalam ayat tersebut Allah memulai dengan kata "Subhana" (Maha suci). Kata ini, kata Syekh Mutawalli memberikan pengertian dalam hati seseorang bahwa di sana ada kekuatan yang jauh dari segala macam perbandingan, kekuatan yang jauh melampaui segala kekuatan manusia di muka bumi.

Maka kata "Subhanallah" adalah menjelaskan Allah itu Maha suci Dzat-Nya, Sifat-Nya, dan Perbuatan-Nya dari segala kesamaan.

"Kalau ada suatu macam perbuatan atau peristiwa yang di situ Allah mengatakan bahwa 'Peritiwa itu Dia yang melakukan, maka saya harus mensucikan Dia dari segala undang-undang dan ketentuan yang berlaku untuk manusia, dan saya tidak boleh mengukur perbuatan Allah itu dengan perbuatan saya," terang Syekh Mutawalli.

Dengan diawali kata "Subhana", maka menunjukkan bahwa peristiwa tersebut adalah peristiwa luar biasa, ajaib, di luar jangkauan akal dan kemampuan manusia.

Yakni perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha Palestina, lalu ke Sidratul Muntaha.

"Alladzi Asraa bi…(Yang telah mengisrakan/ memperjalankan)" kalimat ini kata Syekh Mutawalli memberikan pengertian bahwa Nabi itu diisrakan-dijalankan, bukan berjalan dengan sendirinya.

Dengan demikian, jika Allah yang menjalankan maka Allah yang menjadi pelaku, bukan orang yang dijalankan (dalam hal ini Rasulullah SAW).

Baca Juga:Rasulullah Mengutamakan Kelembutan Hati di Atas Kemarahannya

Jadi dalam peristiwa isra itu, Nabi Muhammad dibawa oleh sesuatu kekuatan yang di luar kekuatan atau kemampuan dirinya sendiri, yakni kekuatan Allah yang tidak dapat diukur dengan apa pun juga.

"Kalau saya mengatakan 'saya telah membawa anak saya yang masih menyusu ke puncak himalaya', maka apakah wajar jika ada yang bertanya: Bagaimana anakmu yang masih menyusu itu naik ke puncak himalaya?" kata Syekh Mutawalli.

Dengan demikian, perbuatan itu mestinya dikembalikan pada orang yang membawanya (dalam contoh itu: Syekh Mutawalli), bukan pada si bayi. Hal yang demikian berlaku pada peristiwa Isra, yakni yang menjalankan Rasulullah SAW adalah Allah SWT, jadi perbuatan itu dikembalikan pada Allah yang tidak terhingga Kekuasaan-Nya.

Syekh Mutawalli melanjutkan, kata "Bi abdihi" dalam kalimat "Alladzi Asraa bi abdihi" berarti terhadap hamba-Nya. Dan yang disebut hamba adalah ruh dan jasad. Bukan hanya ruh saja atau jasad saja. Jadi, menurut Syekh Mutawalli, Rasulullah sewaktu diisrakan dengan jasad dan ruh.

Peristiwa isra diterangkan dalam ayat tersebut adalah "Untuk memperlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya."

Dan ditutup dengan "Innahu Huwassamii'ul bashiir" (Sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat." Kenapa disebutkan dua sifat tuhan tersebut? karena (ada kemungkinan) apabila seseorang mengetahui tanda-tanda kebesaran Allah, dia akan berkata begini dan begitu (yang tentu saja didengar dan dilihat Tuhan).

Seperti ucapan "Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu," dan ucapan lainnya.

Bisa juga, sambung Syekh Mutawalli, ayat tersebut dimaksudkan untuk memperlihatkan kepada Rasulullah SAW tanda-tanda kebesaran-Nya setelah melihat ulah dan mendengar caci maki kaum kafir kepada Rasulullah SAW.

Baca Juga: Mendidik Anak; Ikhtiar Dijalankan, Doa Dipanjatkan

Baca Juga: Kemanfaatan Ilmu Terlihat Ketika Menghias Pemakainya

Editor: Muhammad Bulkini