Bye-Bye Pandemi, Rupiah Langsung Pesta Lagi

Pada perdagangan hari ini, Kamis (22/6/2023) pergerakan rupiah melawan dolar Amerika Serikat (AS) dibuka menguat 0,10% secara harian menjadi Rp14.925/US$

Petugas bank menghitung uang pecahan rupiah di BNI KC Mega Kuningan, Jakarta, Selasa (22/11/2022). Foto: ANTARA

apahabar.com, BANJARMASIN - Pada perdagangan hari ini, Kamis (22/6/2023) pergerakan rupiah melawan dolar Amerika Serikat (AS) dibuka menguat 0,10% secara harian menjadi Rp14.925/US$ di pasar spot. Dengan begitu, sejak awal bulan Juni rupiah bertahan bertahan di zona penguatan sebesar 0,40%.

Penguatan hari ini mempernjang tren positif yang sudah berlangsung sejak kemarin. Pada perdagangan Rabu kemarin, rupiah juga ditutup menguat 0,37%.

Penguatan disinyalir karena respon pelaku pasar atas pengumuman perubahan status Covid-19 menjadi endemi.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) kemarin akhirnya mengumumkan akhir dari status pandemi Covid-19. Masyarakat mulai kemarin akan memasuki masa endemi setelah merasakan tiga tahun pandemi Covid-19.

Jokowi menyatakan keputusan ini mempertimbangkan banyak aspek. Terutama adalah kondisi perkembangan kasus yang semakin mendekati nihil per hari.

"Setelah tiga tahun berjuang hadapi pandemi Covid-19 Sejak hari ini Rabu, 21 Juni 2023 pemerintah cabut status pandemi. Dan kita mulai memasuki masa endemi. Keputusan ini diambil pemerintah dengan mempertimbangkan angka konfirmasi harian COVID-19 mendekati nihil," ujar Jokowi, Rabu (21/6/2023).

Baca Juga: Pengamat: Sertifikat Mengemudi Jadi Alat Korupsi Polisi dengan Penerbit

Baca Juga: Diduga Usai Berduel, Pria di Kelayan A Banjarmasin Tewas Bersimbah Darah

Keputusan tersebut diharapkan bisa menjadi katalis positif bagi pasar karena bisa mendorong pertumbuhan ekonomi tetap positif. Kendati begitu, pasar tetap perlu mewaspadai risiko dari eksternal terutama the Fed.

Chairman The Fed, Jerome Powell, mengatakan akan ada lebih banyak kenaikan suku bunga ke depan karena inflasi masih cukup tinggi dan juga masih cukup jauh dari target yang ditetapkan sebesar 2%.

"Tekanan inflasi terus tinggi dan proses menurunkan inflasi menjadi 2% masih jauh," katanya dalam sambutan yang disiapkan untuk dengar pendapat di depan Komite Jasa Keuangan DPR.

Lebih lanjut, Powell juga menyampaikan bahwa pasar tenaga kerja masih ketat meskipun ada tanda-tanda bahwa kondisi melonggar, seperti peningkatan partisipasi angkatan kerja dalam kelompok usia 25 hingga 54 tahun dan beberapa upah moderat.

"Kami telah melihat efek pengetatan kebijakan suku bunga pada permintaan di sektor ekonomi yang paling sensitif terhadap suku bunga. Akan memakan waktu, bagaimanapun, untuk efek penuh dari pengekangan moneter untuk direalisasikan, terutama pada inflasi," ujar Powell.

Baca Juga: Ditinggal ke Acara Haul, Rumah di Mekarpura Kotabaru Ludes Terbakar

Baca Juga: Prakiraan Cuaca Kalsel 22 Juni 2023: Dominan Cerah, Suhu Mencapai 33 Derajat

Powell juga mencatat untuk menurunkan inflasi memang dibutuhkan perlambatan ekonomi. Alhasil, pelaku pasar harus bersiap ketika perekonomian AS mengalami resesi.

Dari dalam negeri, pelaku pasar juga masih menanti hasil rapat dewan gubernur Bank Indonesia (BI) yang akan diumumkan siang ini. Pelaku pasar memproyeksi BI mempertahankan suku bunga acuan di level 5,75% pada bulan ini.

Dengan perkembangan terbaru dari pernyataan Powell maka BI dihadapkan pada pilihan yang sulit. Masih besar potensi kenaikan suku bunga The Fed bisa membuat rupiah terus tertekan ke depan. Investor asing juga diperkirakan akan memilih meninggalkan pasar keuangan Indonesia.

Bila BI tetap bertahan di suku bunga 5,75% sementara The Fed Fund rate (FFR) yang saat ini di kisaran 5,0-5,25% masih bisa naik maka real rate yang diterima investor akan berkurang. Kondisi ini membuat aset ber-denominasi rupiah tidak menarik.