Bullying di Sekolah Tak Lagi Tersembunyi, Film Ini Ungkap Fakta Menyedihkan

Film pendek berjudul “Ternyata Aku Korban” yang diproduksi oleh pelajar SMA Negeri 1 bersama MAN Sampit, sukses membuka tabir cegah bullying di sekolah.

Ratusan anak yang terdiri dari perwakilan SD, SMP dan SMA di Kota Sampit, memadati Gedung Serbaguna Sampit, dalam kegiatan nonton bareng film pendek. Kamis (7/8/2025). Foto: bakabar.com/Ilhamsyah Hadi

bakabar.com, SAMPIT - Perundungan atau bullying yang selama ini dianggap isu senyap di lingkungan sekolah akhirnya mendapat sorotan terbuka melalui sebuah karya kreatif pelajar. 

Film pendek berjudul “Ternyata Aku Korban” yang diproduksi oleh pelajar SMA Negeri 1 bersama MAN Sampit, sukses membuka tabir realita pahit yang sering terjadi di antara siswa.

Film ini ditayangkan dalam kegiatan nonton bareng yang difasilitasi oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), Kalteng, bertempat di Gedung Serbaguna Sampit, Kamis (7/8/2025.

Salah satu pemeran film sekaligus penulis naskah, Zenzia Taulina, mengaku sangat terhubung dengan isi cerita karena mencerminkan realita di sekolah-sekolah.

“Kami sering jadi saksi atau bahkan pelaku dan korban. Lewat film ini, kami ingin mengajak teman-teman lebih peka terhadap perasaan orang lain,” ujar Zenzia.

Film “Ternyata Aku Korban” sendiri merupakan hasil kolaborasi lintas sekolah, dengan sekitar 20 pelajar terlibat dalam produksi. Zenzia juga menyampaikan bahwa dampak bullying di usia remaja bisa sangat serius, terlebih jika tidak segera ditangani.

Kepala Dinas Pendidikan Kotim, Muhammad Irfansyah, mengatakan film tersebut menjadi momentum penting untuk mengedukasi siswa tentang bahaya perundungan.

"Kadang yang dianggap bercanda ternyata menyakiti hati teman. Anak-anak harus sadar, bahkan candaan ringan bisa berdampak besar secara mental,” ujar Irfansyah.

Menurutnya, kasus bullying di sekolah seringkali terjadi tanpa disadari, bahkan oleh pelakunya sendiri. Hal-hal sederhana seperti mengejek tempat tinggal, latar belakang keluarga, hingga kondisi fisik, bisa menjadi pemicu trauma bagi korban.

Menariknya, dalam kesempatan itu Irfansyah juga mengungkap bahwa tidak hanya murid yang menjadi korban perundungan, namun juga guru.

“Ada guru honorer yang dirundung karena dianggap pendatang oleh siswa. Ini tentu tidak bisa dibiarkan,” ungkapnya.

Ia menekankan pentingnya keberanian untuk melapor. Guru, kepala sekolah, atau bahkan siswa sekalipun bisa mengadukan kasus ke Dinas Pendidikan atau melalui Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Sekolah (TPPKS) yang telah dibentuk di satuan pendidikan.

Dinas Pendidikan berharap film ini dapat diputar lebih luas di sekolah-sekolah, dan menjadi bahan diskusi untuk menanamkan nilai empati, saling menghargai, serta pentingnya menyuarakan kebenaran saat melihat ketidakadilan.

“Kalau melihat bullying, jangan diam. Laporkan. Kita punya sistem dan satgas yang siap bantu,” tegas Irfansyah.

Film ini menjadi bukti bahwa suara anak muda mampu menyentuh dan menggerakkan perubahan. Perundungan bukan lagi isu tersembunyi, dengan karya seperti ini, luka-luka yang dulu didiamkan kini mulai diperjuangkan untuk disembuhkan.