Nasional

BNPB soal Anak Gunung Krakatau: ‘Tubuhnya’ Tambah Tinggi 4-6 Meter Tiap Tahun

apahabar.com, JAKARTA – Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memastikan letusan dan kegempaan Gunung Anak Krakatau terus…

Erupsi Gunung Anak Krakatau yang terpantau dari pesawat Grand Caravan Susi Air pada 23/12/2018. Gunung Anak Krakatau erupsi sejak Juni 2018 hingga sekarang. Erupsi kemarin bukan yang terbesar. Periode Oktober-November 2018 terjadi erupsi lebih besar. Status Waspada (level 2). Foto-BNPB

apahabar.com, JAKARTA – Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memastikan letusan dan kegempaan Gunung Anak Krakatau terus terjadi selama tiga bulan terakhir.

“Hampir setiap hari Gunung Anak Krakatau meletus. Status tetap Waspada. Radius berbahaya 2 km dari puncak kawah. Gunung Anak Krakatau masih dalam tahap pertumbuhan. Tubuhnya tambah tinggi 4-6 meter per tahun,” jelas Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB SUtopo Purwo Nugroho.

Erupsi Gunung Anak Krakatau yang terpantau dari pesawat Grand Caravan Susi Air pada 23 Desember 2018 kemarin bukan yang terbesar. Periode Oktober-November 2018 terjadi erupsi lebih besar. Status Waspada (level 2).

Baca Juga:BNPB: Tidak Ada WNA Korban Tsunami Selat Sunda

Indonesia, kata Sutopo pukul 9 Wita tadi, belum memiliki sistem peringatan dini tsunami yang disebabkan longsor bawah laut dan erupsi gunung api. Yang ada saat ini hanyalah sistem peringatan dini yang dibangkitkan oleh gempa saja. Sistem yang ada disebutkan sudah berjalan baik. Kurang dari 5 menit setelah gempa BMKG dapat memberitahukan ke publik.

“Indonesia harus membangun sistem peringatan dini yang dibangkitkan longsor bawah laut erupsi gunung api. Adanya gempa menyebabkan longsor bawah laut lalu memicu tsunami di antaranya tsunami Maumere 1992 dan tsunami Palu 2018,” Sutopo dalam akun twitter terverifikasi miliknya.

Dia melanjutkan, 127 gunung api atau 13% populasi di dunia ada di Indonesia. Beberapa di antaranya gunung api ada di laut dan pulau kecil yang dapat menyebabkan tsunami saat erupsi.

“Tentu ini menjadi tantangan bagi PVMBG, BMKG, K/L dan perguruan tinggi membangun peringatan dini,” sambungnya.

Dia kembali menambahkan, bencana lain seperti banjir, longsor, erupsi gunung api, kebakaran hutan dan lahan, kekeringan, puting beliung juga masih perlu sistem peringatan dini. Belum semua daerah rawan bencana ada sistem peringatan dini, yang bisa memberikan informasi kepada masyarakat sebelum bencana.

“Tidak ada peringatan dini tsunami di Selat Sunda pada 22 Desember 2018 malam. Tidak adanya peralatan sistem peringatan dini menyebabkan potensi tsunami tidak terdeteksi sebelumnya. Tidak terpantau tanda-tanda akan datangnya tsunami sehingga masyarakat tidak memiliki waktu evakuasi,” jelasnya.

Dia juga mengatakan, jaringan buoy tsunami di perairan Indonesia sudah tidak beroperasi sejak 2012. Vandalisme, terbatasnya anggaran, kerusakan teknis menyebabkan tidak ada buoy tsunami saat ini.

“Perlu dibangun kembali untuk memperkuat Indonesia Tsunami Early Warning System.”

Baca Juga:Tsunami Selat Sunda, BNPB: 281 Tewas, 1.016 Luka-luka

Editor: Fariz Fadhillah