Politik

Biaya Mahal, Pemodal Besar ‘Kuasai’ Panggung Politik

apahabar.com, BANJARMASIN – Mahalnya cost (biaya) politik menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2019, rupanya menjadi hal yang…

Ilustrasi caleg. Foto-Harian Analisa

apahabar.com, BANJARMASIN – Mahalnya cost (biaya) politik menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2019, rupanya menjadi hal yang lumrah dalam kontestasi politik lima tahunan tersebut. Wajar kiranya, panggung demokrasi negeri ini dihiasi aktor pemilik modal.

Bahkan, salah satu kader partai Nasdem Kalsel memprediksi untuk menjadi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalsel, harus menyediakan kocek senilai Rp1,4 miliar.

Sehingga, mahalnya cost politik seakan menjadi sorotan khalayak. Terlebih, Pengamat Politik Kalimantan Selatan (Kalsel), Dr. Muhammad Uhaib As’ad, M.Si.

Menurutnya, mahalnya cost politik menjadi fenomena yang umum di Indonesia. Bahwa, politik sudah menjadi industri. Demokrasi sudah menjadi proyek. Tempat dimana orang saling berkompetisi dengan cara menggunakan kekuasaan finansial untuk menguasai panggung demokrasi.

Politik atau demokrasi di Indonesia, sambung Uhaib, seakan menjadi arena industri yang dibajak oleh kekuatan uang, sehingga kontestasi politik menjadi arena pasar gelap yang dimainkan orang kuasa uang atau pemilik modal.

“Wajar saja kalau orang yang memiliki finansial, secara matematis lebih memiliki peluang atau masuk di dalam jaringan kekuasaan yang mengandalkan kekuatan uang. Uang telah menjadi hantu bagi demokrasi,” ucapnya kepada apahabar.com, Senin (4/3/2019).

Pertanyaannya, mengapa orang berlomba-lomba dan tak segan-segan merogoh kocek begitu besar hanya untuk menjadi anggota Legislatif?

Menurut Uhaib, semua lantaran adanya gengsi politik yang melekat dalam diri individu tersebut. Pastinya, kapitalisasi demokrasi telah membuat orang mabuk dengan nafsu kekuasaan. Apapun akan ditempuh, terang Uhaib, untuk membeli suara, baliho, ornamen-ornamen kampanye dan pamflet politik.

Baca Juga:Lembaga Survei Australia: Mayoritas Pemilih Ingin Jokowi Kembali Jabat Presiden

Gemuruh demokrasi hari ini, terang Uhaib, ibaratkan satu teater kolosal yang dimainkan oleh orang yang memiliki kuasa uang, sehingga orang yang bisa menjadi aktor teater kolosal adalah orang yang memiliki kuasa uang.

“Yang tidak memiliki uang, agak berat untuk berkompetisi di tengah pragmatisme politik atau warga yang sudah berfikir instan bahwa kontestasi politik adalah kontestasi para pemilik modal,” ucapnya.

Akibat dari budaya tersebut, terang Uhaib, masyarakat kian tersandra dalam permainan politik uang yang dimainkan oleh aktor politik. Masyarakat menjadi korban. Masyarakat hanya menjadi objek dari sebuah proses demokrasi. Masyarakat tak mengerti proses demokrasi.

Memang secara ideal, tambahnya, uang bukan segalanya. Tetapi, uang menjadi penentu keberhasilan di dalam kontestasi politik. Aktor akan berusaha menguasai sumber-sumber kekuasaan politik dan ekonomi.

Ia menyebutkan, di dalam teori Karl Marx, disebut democ of political production atau aktor-aktor terus berusaha menguasai alat politik, semisal menjadi Bupati, Gubernur, dan Penguasa llainnya. Dengan begitu, aktor bisa leluasa membuat regulasi atau kebijakan yang berpihak kepada suatu kelompok.

Dalam teori ekonomi, Karl Marx menyebutkan bahwa menguasai alat industri dan mesin industri. Sama halnya dengan dunia politik. Aktor ingin menguasai alat industri politik melalui kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Pemilihan Umum (Pemilu).

Artinya, apabila sudah menguasai alat politik, maka aktor akan berencana memperluas jaringan bisnisnya dengan aktor lainnya. Dengan tujuan menguasai sumber daya ekonomi politik.

“Untuk kepentingan individu dan partai politik,” tutupnya.

Baca Juga:Kader Nasdem Dinyatakan Melanggar Administrasi Pemilu

Reporter: Muhammad Robby
Editor: Syarif