Berkaca Kasus Siti, Kekerasan Fisik dan Ekonomi Intai PRT

Berdasarkan catatan Jala PRT, pada pertengahan bulan Januari 2023 saja, ada 241 kasus kekerasan yang mereka dapat.

Ilustrasi penyiksaan PRT Siti. Foto: Kompas

apahabar.com, JAKARTA - Muka Siti Khotimah (23) terlihat bengkak. Ia masih terkulai lemah di atas ranjang Rumah Sakit Kramat Jati.

Kendati begitu, senyum Siti terlihat semringah saat mendengar pernyataan dari Presiden Joko Widodo pada Rabu (18/01) tentang Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT).

Siti begitu ia akrab dipanggil adalah pekerja rumah tangga (PRT) korban penganiayaan dan kekerasan pemberi kerja di apartemen Simprug, Jakarta Selatan, pada Desember 2022 lalu. 

Baca Juga: Merengkuh UU PPRT, Melepas Jerat Perbudakan

Kisah pilunya banyak diabadikan di pelbagai media massa. Disiksa, diborgol, tidur di kandang anjing hingga dipaksa memakan kotorannya sendiri telah ia lalui. Meski pelaku sudah mendekam di penjara, namun pilu yang dirasakan Siti masih berbekas pada air mukanya. 

Pada konferensi pers yang diselenggarakan Koalisi Sipil untuk Perlindungan PRT, suara Siti masih terdengar parau. Begitupun ketika ia ditanya perihal tanggapannya terkait pernyataan presiden soal nasib RUU PPRT.

“Saya sebagai korban dan mewakili para pekerja rumah tangga lain, mengucapkan terima kasih tak terhingga kepada bapak Presiden Jokowi atas pernyataannya untuk UU Perlindungan PRT," jelasnya, Rabu (18/01).

"Semoga UU PRT segera disahkan, supaya kita terlindungi, supaya tidak ada lagi kekerasan terhadap PRT," sambung Siti. 

Siti tak lama muncul di layar. Kondisi kesehatannya masih lemah. Tak selang berapa lama, dirinya pamit undur diri.

Siti tak sendiri. Kisah serupa kerap terjadi bukan hanya kota besar. Juga di daerah di luar Jakarta seperti Malang atau Jember.

Berbicara statistik laporan yang diterima Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT), dalam sehari 2-3 PRT mengaku mengalami kekerasan.

“Kalau main statistik dalam sehari Jala PRT itu bisa terima 2-3 laporan per hari,” tutur Eva Sundari, Ketua Koalisi Sipil untuk Perlindungan PRT menjelaskan, Rabu (18/01).

Tingginya angka kekerasan terhadap PRT membuat kebutuhan terhadap perlindungan secara hukum tak bisa terelakkan lagi. Masalah PRT yang kian struktural memaksa tim advokasi ‘kerja capek’ selama delapan belas tahun.

“Ini artinya negara harus hadir, karena PRT ini pekerjaan,” ungkap mantan anggota DPR RI 2009-2014 itu. 

Menurutnya, perlu kolaborasi intersektoral agar RUU PPRT segera disahkan. Media, salah satu tim kolaborator yang sangat diharapkan. Maka ia mengimbau kepada para jurnalis agar tidak lagi menggunakan kata asisten, melainkan pekerja, karena relevansi asisten sangat personal dan erat dengan perbudakan. 

“Maka di sinilah kita bisa menuntut peran negara untuk melindungi hak mereka,” kata dia lagi. 

Seiman dengan Eva, Koordinator Jala PRT, Lita Anggraini memaparkan jika sudah saatnya DPR RI mensahkan RUU PPRT. Sebab, diskriminasi seperti fenomena gunung es, dan akan terus berulang jika negara tak segera ambil peran. 

Berdasar catatan Jala PRT, pada pertengahan Januari 2023 saja, ada 241 kasus kekerasan yang mereka dapatkan.

“Bulan Januari saja ada 241 kasus, ini yang berani melapor ya,” papar Lita, Rabu (18/01).  

Baca Juga: Janji DPR Segera Sahkan UU PPRT

Ada enam jenis kekerasan yang direkam oleh Jala PRT. Di antaranya kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan ekonomi (upah tidak dibayarkan), kekerasan seksual, trafficking, hingga kekerasan profesi seperti penyitaan alat komunikasi, atau diskriminasi terhadap profesi PRT.  

Dari keenam jenis kekerasan tersebut, kekerasan fisik yang paling dominan. Persentasenya 77% dari total jumlah laporan yang ada.

Kedua, yakni kekerasan ekonomi dengan upah gagal bayar paling banyak dilaporkan. Lita berharap UU PPRT bisa membawa angin segar bagi para pekerja.

“UU PPRT ini sudah sangat dibutuhkan bagi pekerja rumah tangga,” ujarnya mengakhiri.