Kalsel

Berawal Dari Iseng, Miniatur Perahu di Batola Dapat Diadu

apahabar.com, MARABAHAN – Dikenal tidak bertahan lama, kayu pulantan justru menjadi barang seni bernilai tinggi di…

Miniatur jukung yang terbuat dari kayu pulantan karya Masrani dari Desa Jelapat Baru di Kecamatan Tamban. Foto-Bastian Alkaf/apahabar.com

apahabar.com, MARABAHAN – Dikenal tidak bertahan lama, kayu pulantan justru menjadi barang seni bernilai tinggi di tangan-tangan pengrajin dari Barito Kuala.

Juga disebut pulai, pulantan merupakan kayu berwarna putih polos, lunak, ringan dan sekalipun tidak tahan lama.

Pulantan dapat digunakan sebagai peti, papan acuan beton dan pekerjaan tukangan, serta sebagai bahan baku pabrik korek api.

Namun di tangan Masrani, pulantan juga dapat dijadikan karya seni yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Caranya batang-batang kayu pulantan tersebut diubah menjadi miniatur jukung dan kelotok.

“Semula hanya iseng membikin miniatur jukung, karena ikut-ikutan teman. Selanjutnya saya mulai melakukan kreasi,” papar Masrani.

“Salah satunya menghadirkan bentuk manusia yang tampak seperti nyata, tidak flat seperti wayang,” imbuh warga Desa Jelapat Baru di Kecamatan Tamban ini.

Tidak cuma bentuk manusia, jukung-jukung bikinan Masrani juga berisi beraneka bentuk buah-buahan, lengkap dengan bakul maupun jidar.

“Sebelumnya saya menggunakan biji-bijian asli untuk menambahkan aksen buah-buahan. Namun karena bisa buruk, akhirnya saya ganti dengan manik-manik dari plastik yang dicat agar menyerupai buah,” jelas Masrani.

Satu miniatur jukung berukuran sekitar 30 sentimeter tersebut dijual seharga Rp350 ribu. Namun biaya bisa meningkat drastis, tergantung kesulitan dan ukuran.

Uniknya Masrani baru tiga tahun terakhir membuat miniatur jukung. Semuanya disebabkan keisengan, lantaran sebelumnya Masrani lebih dikenal sebagai pengrajin hulu dan kumpang mandau.

Melalui kepiawaian mengukir hulu dan kumpang mandau dari kayu pulantan selama bertahun-tahun, Masrani lebih dikenal dengan nama Utuh Kumpang.

Bahkan dibandingkan miniatur perahu, keuntungan yang diperoleh Masrani dari kumpang dan hulu mandau lebih besar.

Sepaket hulu dan kumpang dengan bentuk sesuai pesanan konsumen, bisa berbanderol Rp700 ribu. Namun Masrani juga menyediakan mandau lengkap seharga Rp450 ribu.

“Sebenarnya tidak cuma jukung atau kelotok. Saya juga bisa membuat perahu pinisi dari kayu pulantan. Untuk satu perahu, biasanya dikerjakan selama tiga hingga empat hari,” beber Masrani.

Tidak cuma di Jelapat Baru. Desa Belandean Muara di Kecamatan Alalak juga memiliki Sanang dan Jamhuri yang memiliki kemampuan mengolah bahan serupa. Bedanya pasangan kakek dan cucu ini fokus mengerjakan miniatur kapal.

Karya-karya Sanang dan Jamhuri berupa kapal penumpang, kapal pesiar hingga tug boat. Pun ukuran yang disediakan juga beragam, mulai dari 50 sentimeter hingga bahkan 100 sentimeter.

Dikerjakan minimal selama sepuluh hari, kreasi kapal Jamhuri dilepas mulai dari harga Rp350 ribu.

“Dari semua warga Belandean Muara, cuma mereka yang memiliki kemampuan membuat perahu dari pulantan. Tampaknya bakat tersebut sudah turun-temurun,” papar Yasir, Sekretaris Desa Belandean Muara.

Namun demikian, Sanang sempat merasa diremehkan. Selain terkendala pemasaran, membuat perahu dianggap sebagai pekerjaan pemalas.

“Mungkin karena mayoritas pekerjaan di desa kami adalah petani, sehingga dulu orang yang gemar membuat miniatur perahu dianggap pemalas,” tandas Yasir.

Baca Juga: Lama Tak Berjumpa, RDP Agency Gelar Halal Bihalal

Baca Juga: Polda Kalsel Bungkam Soal Penetapan Tersangka Bupati Balangan

Reporter: Bastian Alkaf
Editor: Syarif