Opini

Belajar Sabar dari Si Gila

Oleh: Puja Mandela DIA dijuluki Husein Si Gila. Orang-orang kampung menyebutnya dengan nama itu, karena satu…

Ilustrasi-BangkitMedia.com

Oleh: Puja Mandela

DIA dijuluki Husein Si Gila. Orang-orang kampung menyebutnya dengan nama itu, karena satu hari setelah dia menikahi seorang gadis cantik, Husein langsung pergi ke suatu tempat selama 20 tahun. Dia meninggalkan istri serta orang-orang kampung yang tak pernah mengerti arah jalan pikirannya.

Husein adalah seorang petani yang tinggal di Turki bagian tengah. Dia pergi ke Istanbul untuk menuntut ilmu. Sekembalinya dari Istanbul, Husein sempat bertemu dengan seorang petani yang menanyakan arti dari kebijaksanaan. Namun, jawaban-jawaban Husein tak pernah memuaskan Bapak Petani itu.

“Awal kebijaksanaan adalah percaya pada Tuhan,” kata Husein.

“Bukan. Bukan itu jawabannya,” si petani menjawab.

Husein pun mengutip berbagai pendapat para cendekiawan tersohor yang pernah dia temui di Istanbul. Tapi tanggapan si petani masih sama. Si petani menganggap Husein tak tahu apa-apa soal awal dari kebijaksanaan.

“Selama 20 tahun ini, apa saja yang kau pelajari? Kenapa kau masih mempelajari soal ini?” kata si petani.

Ribuan tanda tanya berputar-putar di kepala Husein. Petani itu lalu menawarkan Husein untuk tinggal di rumahnya selama satu tahun jika dia ingin tahu jawaban atas pertanyaannya itu.

Tawaran itu diterima Husein. Lalu, setelah genap 12 bulan lamanya, Husein bertanya lagi: Apa awal dari kebijaksanaan?

“Awal kebijaksanaan adalah kesabaran,” kata si petani.

Jawaban itu membuat Husein jengkel. Sudah menunggu begitu lama, ternyata jawaban yang keluar dari mulut petani itu hanya sebuah kata yang terkesan remeh temeh dan begitu sering terdengar di mana-mana. Husein tak mengerti, orang yang ada di hadapannya benar-benar berilmu atau hanya penipu yang kurang kerjaan.

Setelah itu, Husein pergi. Ia pulang untuk menemui istrinya yang sudah 20 tahun dia tinggalkan. Saat langkah kakinya makin dekat menuju rumahnya, ia justru melihat pemandangan yang tak pernah ia sangka sebelumnya. Husein melihat istrinya duduk sambil mengelus-elus kepala seorang pemuda tampan.

Husein cemburu. Amarahnya naik. Sebilah belati yang dia simpan ia keluarkan untuk segera menikam pemuda itu. Namun, sebelum ia berlari, ia berkata kepada dirinya sendiri, “Bersabarlah. Aku baru saja menghabiskan waktu satu tahun untuk belajar kesabaran. Tak seharusnya aku bereaksi terlalu cepat.”

Demi meredam emosinya, Husein pergi menuju masjid untuk mengerjakan salat isya. Di sana, tak ada yang mengenalnya. Orang-orang sudah lupa dengan wajah pria aneh yang rela meninggalkan istrinya sendirian selama lebih dari 20 tahun, persis sesaat setelah mereka menghabiskan malam pertamanya sebagai suami istri.

Di masjid itu, Husein tengah berbincang dengan sejumlah jemaah. Tiba-tiba, seorang pemuda masuk ke masjid. Pemuda itu adalah orang yang nyaris ia bunuh tadi sore. Pria itu adalah orang yang sama dengan pria yang duduk berdua bersama istrinya.

Husein yang penasaran bertanya, “Siapa pemuda itu?”

Seseorang kemudian menjawab pertanyaannya, “Itu Jamal. Anak Husein Si Gila yang 20 tahun lalu pergi, persis satu hari setelah ia menikah. Kini anaknya itu menjadi orang terpelajar dan menjadi imam kami.”

Husein terperanjat. Selesai salat, dia bergegas pergi ke desa si petani. Di sana, ia berlutut sambil membungkuk dan berseru,” Terima kasih guruku. Kau telah menyelamatkan hidupku dan keluargaku.”

Kisah ini amat masyhur di dunia tasawuf. Tentu saja ada begitu banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah Husein Si Gila yang sering diceritakan oleh Ulama Sufi asal Turki, Muzaffer Efendi dan dicatat oleh Syekh Ragip Frager dalam bukunya “Obrolan Sufi”.

Memang tak semua orang memiliki kesabaran seperti Husein. Kalau kita menjadi dirinya, barangkali sesaat setelah melihat istri kita sedang bersama pria lain, kita bahkan bisa melakukan tindakan lebih kejam daripada yang sudah direncanakan Husein.

Kalau kita bagian dari pasukan Perang Uhud, barangkali kita adalah orang yang berada satu barisan dengan para pemanah yang melanggar perintah Rasulullah, lalu meninggalkan Bukit Uhud karena tergiur dengan harta rampasan perang. Atau mungkin lebih buruk dari itu. Kita adalah barisan orang-orang yang menolak perintah jihad bersama Rasulullah, sebab sejatinya kita adalah orang-orang yang takut mati.

Kita ingin menang perang tanpa bertarung di medan laga. Kita ingin masuk surga tanpa harus beribadah dengan susah payah. Kita ingin kaya tanpa usaha. Kita ingin sukses dengan cara instan. Kita ingin menjadi orang besar hanya dengan cara rebahan di kamar.

Kita memang tidak cukup sabar untuk melewati sesuatu bernama perjuangan. Ramadan sudah berkali-kali melatih kesabaran kita untuk menahan nafsu makan, minum, menjaga mata, hati dan telinga, menahan nafsu seksual, dan seterusnya, dan lain sebagainya. Tapi apa hasilnya? Level kesabaran kita masih di situ-situ saja.

Menjadi orang sabar memang bukan perkara sederhana. Suatu hari Gus Dur pernah bilang begini: Sabar itu tidak ada batasnya. Kalau ada batasnya, berarti tidak sabar…

*
Penulis adalah redaktur apahabar.com

================================================================================

Isi tulisan sepenuhnya tanggung jawab pengirim.