Belajar dari Crash Course in Romance: Pasangan Berkarakter Sama bakal Cocok?

Crash Course in Romance mengisahkan hubungan asmara penuh benci dan cinta. Karakter mereka sebenarnya mirip, sehingga sering bertengkar

Crash Course in Romance mengisahkan hubungan asmara sepasang kekasih berkarakter sama (Foto: dok. Netflix)

apahabar.com, JAKARTANetflix baru saja menyiarkan episode perdana drama Korea terbaru pada Minggu (14/1) kemarin. Adalah Crash Course in Romance, seri bergenre komedi-romantis yang sukses memuncaki peringkat pertama di negara asalnya.

Drama itu mengisahkan hubungan asmara penuh benci dan cinta antara Nam Haeng Sun, pemilik toko makanan, dan Choi Chi Yeol, instruktur di lembaga bimbingan belajar. Mereka bertemu di sebuah kelas khusus untuk masuk universitas.

Haeng Sun sendiri merupakan wanita yang memiliki pemikiran positif lagi penuh semangat. Berbanding terbalik dengan Chi Yeol, yang justru sangat sensitif dan tidak ramah terhadap orang lain.

Meski pembawaan mereka terlihat bak bumi dan langit, karakter keduanya sebenarnya mirip. Haeng Sun dan Chi Yeol adalah pribadi yang sama-sama keras. Sebab itulah, mereka sering bertengkar.

Hal demikian, sejatinya, juga kerap ditemukan di dunia nyata. Banyak pasangan yang memiliki karakter serupa, namun malah berujung sering bersilang pendapat. Lantas, benarkah kekasih dengan karakter berbeda justru mampu melanggengkan hubungan?

Kecenderungan Mencari Pasangan yang Mirip

Tanpa disadari, manusia punya kecenderungan untuk memilih pasangan yang punya kesamaan sifat dan persamaan lain. Hal ini dikenal sebagai matching hypothesis, di mana seseorang lebih condong mencari tambatan hati yang level menariknya mirip dengan mereka.

Dosen Psikologi dari Wellesley College, Angela Bahns, sudah membuktikan teori yang demikian melalui sebuah penelitian. Bersama tim lain dari University of Kansas, dia melangsungkan riset dengan melibatkan 1.500 pasangan.

Hasilnya, rata-rata pasangan tersebut justru punya prinsip dan pandangan hidup yang sejalan. Bahns dan timnya berargumen, ketika mencari pasangan, seseorang mencari kemiripan pada calon yang dirasa cocok, bukan perbedaan yang selama ini dikenal sebagai ‘opposite attract.’

Hal itu, sambung Bahns, dikarenakan manusia memang akan lebih mudah “nyambung” dan bergaul dengan orang-orang yang cara berpikirnya sama. Sementara, jadi menjauhi mereka yang tidak menganut prinsip serupa.

Bahns dkk bukanlah satu-satunya yang meneliti antitesis teori ‘opposites attract.’ Pada 2014 lalu, Nathan Hudson and Chris Fraley juga meriset soal benarkah pasangan yang berbeda karakter lebih bahagia dan langgeng, atau sebaliknya.

Hasilnya, pasangan yang sama-sama punya kepribadian agreeableness (mudah setuju) dan emotional stability (tenang, percaya diri) lebih bahagia menjalani hubungan. Pasangan yang beda karakter dan bertolak belakang tidak merasa demikian.

Terlepas dari kesamaan itu, langgeng atau tidaknya suatu hubungan sebenarnya tergantung pada komitmen masing-masing individu. Hal yang paling menentukan adalah toleransi serta usaha untuk sama-sama menjembatani perbedaan. 

Saling memahami dan mengerti satu sama lain adalah sebuah kunci awetnya asmara. Lantas, bagaimana dengan Anda dan si ‘dia’?