Tak Berkategori

Begini Sejarah Masuknya Konghucu di Banjarmasin

apahabar.com, BANJARMASIN – Klenteng Sen Sen Kung atau Klenteng Sutji Nurani yang berada di pinggiran Sungai…

Klenteng Sen Sen Kung atau Klenteng Sutji Nurani awal tahun 1900. Foto-nyawasungai.org

apahabar.com, BANJARMASIN - Klenteng Sen Sen Kung atau Klenteng Sutji Nurani yang berada di pinggiran Sungai Martapura, Banjarmasin, menjadi penanda keberadaan warga Tionghoa sekaligus masuknya agama Konghucu di Banjarmasin.

Ketua Lembaga Kajian Sejarah, Sosial dan Budaya Kalimantan (LKS2B), Mansyur mencoba mengupas sejarah perkembangan agama Konghucu dan Klenteng di Banjarmasin.

Mansyur mengutip dari riset Dana Listiana tentang Kampung Cina di Banjarmasin, data paling awal yang menyebut permukiman Cina secara tekstual adalah Laporan Umum tahun 1850.

“Dalam laporan bertitel Algemeen Verslag tersebut dipaparkan bahwa kampung dan pemukiman Cina di Banjarmasin terdiri atas Kampung Ulu dan Kampung Ilir,” sebutnya.

Elemen utama dari pemukiman, sambung Mansur adalah klenteng. Masih mengutip dari Dana Listiana, Klenteng merupakan pusat kehidupan masyarakat Cina. Wajar, jika keberadaannya menjadi inti dalam sebuah permukiman Cina. Klenteng bukan sekadar penghias kampung. Klenteng adalah wujud kosmologi Tiongkok.

"Pendirian klenteng adalah usaha menjaga keseimbangan kosmos, antara manusia dan alam. Tentunya, pembangunan klenteng ini bermaksud khusus. Ditujukan untuk kepentingan atau kalangan tertentu," terang Mansyur berdasar penelitian yang dilakukan Dana Listiana.

Mansyur melanjutkan, Klenteng bernama lain Kiong (Istana) Tong/Ting (bangunan suci berbentuk kecil), Bio/Miao/(dalam bahasa hokkian, bangunan kebaktian bagi Khong Cu atau Khong Cu Bio).

Klenteng Sutji Nurani. Foto-Istimewa

Listiana juga berpendapat, lanjut Mansyur, Klenteng di Kota Banjarmasin dibangun sebagai klenteng komunitas (community temple) yang terletak di pinggir Sungai Martapura.

"Klenteng di Kampung Pacinan ini bernama Sen Sen Kung atau Klenteng Sutji Nurani."

Beberapa literatur menuliskan klenteng ini didirikan pada tahun 1898. Dua tokoh yang berperan dalam pendirian klenteng adalah Kapiten Cina, yakni The Sinyoe dan Anglim Thay. Dengan lobinya kepada pemerintah Hindia Belanda, kedua kapiten ini mendapat persetujuan mendirikan tempat ibadah bagi orang-orang Cina di Pacinan.

"Kelenteng Soetji Noerani menjadi ikon wilayah Pacinan pada era pemerintahan Hindia Belanda di Kota (Geemente) Banjarmasin."

Letaknya di persimpangan antara Jl. Pierre Tendean dan Jl. Veteran (Pecinan laut), Kelurahan Kampung gadang, Kota Banjarmasin saat ini.

Klenteng komunitas, kata Mansyur, berfungsi sebagai penjaga komunitas di tempat tersebut. Sebagai kelompok etnis yang dikenal sangat menghormati leluhur, keberadaan klenteng adalah keharusan.

Karenanya, sebelum permukiman Cina didirikan, sebagaimana tradisi Tiongkok, mereka akan melakukan ritual memohon agar kehidupan di tempat yang baru berjalan dengan baik dan dijauhkan dari segala keburukan.

“Uniknya, untuk menjalankan kegiatan tersebut mereka akan membangun sebuah tempat peribadatan,” jelas Dosen Sejarah FKIP ULM ini.

Klenteng Sen Sen Kung (Sutji nurani) juga dapat dikategorikan klenteng jalan masuk (locality access temple) sekaligus klenteng lingkungan (neigbourhood temple). Alasannya, karena berada di ujung jalan masuk sehingga dapat dilihat siapa saja. Sangat jelas terlihat dari letaknya di persimpangan antara Jl. Pierre Tendean dan Jl. Veteran.

Sementara itu, Mansyur juga mengutip dari Kurnia Widiastuti dan Anna Oktaviana (2012)yang menuliskan, awal berdiri klenteng ini didominasi material kayu. Pada masa itu, kayu adalah merupakan material utama bangunan, khususnya di Banjarmasin. Pada tahun 1925 kelenteng mengalami renovasi. Material kayu diganti dengan beton.

"Dari analisisis Salmon dan Lombard dalam riset Listiana, pendirian setiap klenteng memiliki tujuan umum untuk ritual pemujaan, penghormatan, atau bakti terhadap dewa dan leluhur."

Pendirian klenteng dimaksudkan untuk menjaga lingkungan (manusia dan alam dalam kawasan tersebut) dari datangnya nasib buruk. Karenanya, bangunan klenteng di pacinan, berdiri di persimpangan jalan.

Secara praktis, posisi klenteng di pertigaan berfungsi untuk menghadang sha yang dibawa dari sumbu jalan di depannya, yang terlihat dari posisi dua buah klenteng tersebut.

Harmonisasi dan dinamika masyarakat Cina di Banjarmasin membuat dua klenteng tersebut berfungsi sebagai klenteng besar.

“Selain menjadi pusat kegiatan komunitas juga menjadi pusat kegiatan peribadatan dan pelindung aktivitas masyarakat Cina di lingkungan tersebut,” tutupnya.

Baca Juga:Kelenteng Soetji Nurani Siap Sambut Tahun Baru Imlek 2570

Reporter: Muhammad RobbyEditor: Muhammad Bulkini