Tak Berkategori

Beda Perlakuan Oknum DPRD Tala dengan Iyut Bing Slamet yang Sama-Sama Tertangkap Nyabu

apahabar.com, BANJARMASIN – Kasus penyalahgunaan narkoba di negeri ini seakan tak pernah berhenti. Pelakunya pun dari…

Ilustrasi. Foto-Istimewa

apahabar.com, BANJARMASIN – Kasus penyalahgunaan narkoba di negeri ini seakan tak pernah berhenti. Pelakunya pun dari berbagai latar belakang dan usia, dari oknum selebriti, hingga elite politik.

Baru-baru ini, mantan artis cilik, Iyut Bing Slamet ditangkap dengan barang bukti 0,7 gram sabu.

Sementara di Kalsel, oknum anggota DPRD Tanah Laut berinisial SRN juga melakukan hal yang sama. Dia kedapatan membawa dan 0,67 gram sabu.

Namun, dua kasus ini menjadi perhatian karena mendapat perlakuan yang berbeda dari sisi hukum.

Iyut Bing Slamet dijerat dengan pasal 127 ayat 1 UU No 3 2009 dan ancaman hukuman pidana selama 4 tahun. Saat ini pihak kepolisian masih menunggu hasil asesmen dari Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) DKI Jakarta untuk memutuskan proses rehabilitasi.

Sementara penyidik BNNP Kalsel memutuskan rehabilitasi jalan pada kasus yang menimpa wakil rakyat asal Kabupaten Tanah Laut dengan sanksi wajib lapor sesuai dengan UU No 35 tahun 2009 tentang Narkotika pasal 127.

Pengamat hukum pidana Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, Daddy Fahmanadie, menilai keadilan hukum akan tercermin dari bagaimana proses hukum itu berjalan, termasuk dalam perkara pidana.

“Prinsip hukum yang adil, seyogyanya bukan hanya menekankan pada aspek penerapan hukum atau peraturan formal saja melainkan juga ada komitmen moral aparat penegak hukum,” katanya saat dihubungi apahabar.com, Minggu (6/12).

Dia menekankan aparat penegak hukum, terutama jaksa, kepolisian dan hakim harus menjunjung tinggi hak asasi setiap warga negara, baik yang ditetapkan sebagai tersangka atau terdakwa.

“Dengan kata lain pelaku tindak pidana apa dasarnya yakni adalah asas persamaan hukum (Equality Before The Law),” ujarnya

Meski terkesan ada kesenjangan dalam dua kasus tadi, sistem peradilan pidana tetap harus dalam proporsi yang seimbang. Tidak boleh ada diskriminasi di dalamnya.

“Untuk memeriksa perkara penyalahgunaan narkotika, hakin wajib (pasal 127/2) memperhatikan penggunaan kewenangan berdasarkan pasal 103,” sebutnya.

Hal yang dimaksud yaitu kewenangan dapat menjatuhkan hukuman rehabilitasi, baik terbukti bersalah maupun tidak, berdasarkan hasil asesmen.

“Rehabilitasi penting kalau ini adalah penyalahgunaan dan pencegahan. Sebaliknya, efek jera adalah kepada peredaran yaitu bandar, kurir atau pelaku yang turut serta dalam kegiatan usaha narkoba,” lanjutnya.

Sistem peradilan rehabilitasi yang diterangkan dalam UU No 35 tahun 2009 menyebutkan penyalah guna bagi diri sendiri diancam pidana maksimal 4 tahun penjara (pasal 127/1).

Sedangkan penyalah guna yang sudah menjadi pecandu diwajibkan menjalani rehabilitasi (pasal 54).

“Sanksi efek jera dan rehabilitasi sudah sesuai dengan UU. Terkadang penuntutan dengan pasal kumulatif mengakibatkan cenderung penyalahguna menjadi terjerat pidana penjara bukan rehabilitasi,” pungkasnya.