Beda Cara Mengais Bahagia: Hedonia dan Eudaimonia

Pendekatan dalam memahami kebahagiaan terbagi menjadi dua macam: hedonia dan eudaimonia. Lantas, apa bedanya?

Ilustrasi bahagia. Foto-Istimewa

apahabar.com, JAKARTA - Siapa yang enggan merasa bahagia dalam hidupnya? Setiap orang pasti mengidamkan hal itu, sampai tak jarang mereka tenggelam dalam pencariannya untuk mengais kebahagiaan.

Dari hasil pencarian itu, tiap individu barangkali menemukan cara yang berbeda. Mengingat, makna bahagia sendiri sangatlah subjektif, di mana bergantung pada standar, persepsi, dan pengalaman masing-masing orang.

“Kebahagian masing-masing individu bergantung bagaimana cara mereka menginterpretasikan pengalamannya,” demikian penjelasan Dosen Psikologi Universitas Airlangga (UNAIR), Kartika Amelia Arbi, dikutip dari unair.ac.id, Kamis (4/5).

Kartika menyebut pendekatan dalam memahami kebahagiaan terbagi menjadi dua macam: hedonia dan eudaimonia. Kebahagiaan hedonia terwujud dengan melakukan hal baik lagi menyenangkan, sedangkan eudaimonia berasal dari pencarian atas kebaikan dan makna kehidupan.

Filsuf yang menggeluti kebahagiaan, David Phillips, menjelaskan hedonia lebih menekankan pada asumsi bahwa individu didorong untuk mencapai kebebasan pribadi. Fokusnya, adalah integritas individu dan penilaian diri sendiri atas apa yang membuatnya bahagia.

Sebaliknya, eudaimonia berangkat dari konsep Aristoteles mengenai hidup yang baik, serta keadilan. Dengan tujuan menjadikan manusia mencapai kepenuhannya, berkontribusi pada masyarakat, dan mencapai standar tertinggi moralitas.

Melihat Kebahagiaan dari Kacamata Hedonia

Tumanggor dalam Perbedaan antara Pendekatan Hedonis dan Eudaimonis atas Quality of Life: Kajian Filosofis (2016) menjelaskan bahwa konsep hedonia berangkat dari pandangan seorang filsuf bernama Aristippos.

Dia berpendapat bahwa tujuan hidup manusia ialah mengalami sebanyak mungkin kesenangan dan kenikmatan. Pandangan ini lantas dikembangkan Epikuros, yang memandang kesenangan sebagai tujuan hidup manusia.

Filsuf lainnya, Hobbes, berpendapat bahwa kebahagiaan terletak pada pengejaran sukses atas kebutuhan manusiawi. Adapun Locke menyebut ‘baik’ segala yang mendatangkan kesenangan, dan ‘jahat’ bila menimbulkan ketidaksenangan.

Sementara Bentham mengatakan kebahagiaan akan tercapai jika manusia meraih kesenangan dan bebas dari kesusahan. Karena itulah, well-being serta happiness dalam perspektif hedonis diungkapkan dengan bentuk kesenangan badaniah, hingga kepentingan pribadi.

Dengan kata lain, well-being dan happiness dipahami sebagai kesenangan, kenikmatan, kepuasan, serta tidak ada rasa sakit. Semua aspek ini berpusat pada “memperoleh” dan “mengonsumsi” apa yang diinginkan.

Makna Kebahagiaan dari Perspektif Eudaimonia

Pandangan eudaimonia mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati ditemukan dengan “melakukan apa yang pantas dilakukan.” Dalam perspektif ini, tak semua keinginan pribadi dianggap bernilai menghasilkan well-being, sekali pun itu mendatangkan kesenangan.

Konsep eudaimonia atas well-being mengajak manusia untuk hidup sejalan dengan ‘daimon’ mereka (diri yang benar). Eudaimonia tercapai ketika aktivitas manusia selaras dengan nilai-nilai yang dianut dalam kehidupan.

Mengacu paham Aristoteles, well-being dan happiness tak hanya sebatas meraih kesenangan dan kenikmatan. Melainkan, memperjuangkan kesempurnaan yang menghadirkan perwujudan dari potensi seseorang.

Dengan kata lain, well-being dan happiness dalam perspektif psikologis dengan pendekatan eudaimonia dipahami sebagai makna atau nilai dari pertumbuhan pribadi, realisasi diri, kematangan, kualitas, otentisitas, serta otonomi.