Transisi Energi

Bauran EBT Jauh dari Target, Perlu Gaspol Transisi Energi

Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengungkap capaian bauran energi baru terbarukan (EBT) di pemerintahan Presiden Joko Wido

Ilustrasi pembangkit listrik energi baru terbarukan. Foto: Freepik

apahabar.com, JAKARTA - Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengungkap capaian bauran energi baru terbarukan (EBT) di pemerintahan Presiden Joko Widodo masih jauh dari target yang diharapkan.

Karena itu, ia menyebut presiden terpilih nanti perlu melanjutkan dan mengakselerasi lebih cepat program transisi energi di dalam negeri.

"Target yang harus dicapai dalam program transisi energi itu adalah pencapaian net zero emission pada 2060," katanya seperti melalui keterangan tertulis, Senin (15/1).

Baca Juga: Jauh dari Target! Bauran EBT RI Baru Capai 13,1 Persen di 2023

Bauran EBT pada akhir 2023, kata Fahmy, tercatat masih sebesar 12,8 persen. Jumlah tersebut masih cukup jauh dari target sebesar 23 persen pada 2025.

Terlebih, pada 2030 mendatang, target bauran EBT meningkat menjadi 44 persen.

Ia mengungkapkan PT Pertamina dan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sesungguhnya sudah melakukan berbagai upaya untuk mendorong transisi energi.

PLN, misalnya, cukup berhasil dalam pengembangan EBT dengan telah diselesaikannya 28 pembangkit EBT baru. Program itu di antaranya program dedieselisasi dengan pembangunan jaringan transmisi dan jaringan distribusi hingga pengembangan hidrogen hijau pada tahun 2023.

"Salah satu upaya transisi energi yang paling fenomenal yakni diresmikannya proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terapung Cirata dengan kapasitas 192 megawatt peak (MWp). Namun, program pensiun dini PLTU batu bara belum diselesaikan lantaran kesulitan penyediaan dana," katanya.

Baca Juga: Menteri ESDM Respons Tragedi Smelter Nikel Tsingshan

Baca Juga: Belum Ada Sumber Sumur Baru, Lifting Minyak RI Merosot

Sementara itu, Pertamina sejak beberapa tahun lalu sudah mengusahakan biodiesel, yang merupakan percampuran solar dengan minyak sawit.

Program tersebut dimulai dengan B20, yang meningkat ke B35, dan naik menjadi B40. Namun, program tersebut kemudian berhenti lantaran ENI, mitra usaha dari Italia, menghentikan kerja sama dengan Pertamina.

"Pengembangan biodiesel selain tidak dapat dicapai, program EBT berbasis sawit juga berpotensi bertabrakan dengan program pangan untuk menghasilkan minyak goreng," imbuhnya.

Baca Juga: Investasi Sektor ESDM 2023 Tembus USD 30,3 Miliar

Demikian juga dengan program gasifikasi Pertamina, yang mengolah batu bara menjadi gas, juga mengalami kegagalan setelah mitra usaha dari Amerika Serikat hengkang dari Indonesia.

Oleh karena itu, menurut Fahmy, penting untuk melanjutkan dan mengakselerasi program transisi energi demi menunjang target netral karbon pada 2060.