Batang Banyu, Karya Visual Novyandi Saputra Mejeng di Taman Ismail Marzuki

Dengan tubuh berbungkus plastik, sejumlah orang berjalan di bantaran sungai dangkal sembari memanggul gong besar.

Batang Banyu, Karya visual Novyandi Saputra dipamerkan di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Foto-Dok

apahabar.com, BANJARMASIN - Dengan tubuh berbungkus plastik, sejumlah orang berjalan di bantaran sungai dangkal sembari memanggul gong besar.

Sementara itu, seorang perempuan yang mengenakan kebaya berkelir putih duduk di atas dermaga. Di hadapannya, ada banyak perahu kertas.

Perahu kertas menjadi simbol, harapan agar sungai bisa kembali menjadi ruang hidup dan bermain. Sedang manusia memanggul gong ditujukan sebagai kritik untuk sungai yang kini seakan hanya jadi ruang buang dan dicemari oleh sampah plastik.

Potret itu merupakan sepotong cuplikan dari teaser 47 detik yang dibuat oleh Novyandi Saputera. Judulnya 'Batang Banyu: Matan di Hulu, Larut ka Hilir'.

"Judul Matan di Hulu Larut ka Hilir adalah semacam kesimpulan bahwa fakta atau cerita tentang sungai kini justru larut. Tak pernah lagi kembali," ungkap Novyandi.

Baca Juga: Rencana Normalisasi Sungai Veteran Banjarmasin, Apa Kabarnya?

Karya visual keseluruhan yang berdurasi 10 menit ini digarap selama kurang lebih dua bulan di bawah gagasan kuratorial 'Jejaring, Rimpang'. Berlokasi di Sungai Martapura, kawasan kampung tuha Sungai Jingah, di Kecamatan Banjarmasin Utara.

Batang Banyu akan diputar selama Pekan Kebudayaan Nasional yang berlangsung 20-29 Oktober 2023 di Selasar Ali Sadikin Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Baca Juga: Imajinasi, Teror, dan Romantisme: Penghayatan Seniman Lokal tentang Potret Sungai Martapura

Di Batang Banyu, Novyandi mengulik cerita-cerita lawas dari sungai. Betapa dulunya sungai sangat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat Banjar. Sebagai sarana aktivitas ekonomi, sosial, budaya, sehingga sungai menjadi ruang hidup bersama.

Namun yang terjadi kini, sungai hanya sebagai objek bicara. Laku hidup terhadap sungai sudah berubah 180 derajat.

Rumah-rumah masyarakat telah dibangun membelakangi sungai. Orang Banjar seakan telah mengkhianati keberadaan sungai, yang dulunya ruang hidup kini hanya jadi ruang buang.

"Begitulah gambaran yang terpampang nyata. Bahwa sungai jadi simbol akan perubahan yang nyata. Perubahan yang tak bisa ditawar, datang dengan perlahan mendayu, atau dengan deras menghantam," ujarnya.

Baca Juga: Rilis 'Waja Sampai Kaputing', 'Kada Kawa Kawan Ae' Jadi Jagoan di Album Kedua Primitive Monkey Noose

Novyandi juga mau hal-hal yang berkaitan dengan sungai tak hanya berkutat di aspek teoritis. Sebab dia melihat, hal-hal yang menyangkut sungai hanya dianggap sebagai objek alam, objek arsip, atau objek data.

Dia berharap sungai bisa kembali dirasakan. "Digerakkan dan dibunyikan dengan cara baru yaitu kesenian, karena dengan begitu diharapkan banyak peristiwa baru lahir dari sungai," katanya.

Batang Banyu, karya visual Novyandi Saputra dipamerkan di Taman Ismail Marzuki. Foto-Dok

Karena sungai, menurut pandangan Novyandi, seperti bayangan dalam sebuah pertunjukkan wayang, yang bergerak sesuai kehendak dalang. "Sungai melatar cerita-cerita yang panjang, membisik pada banyak antasan dan kanal-kanal," tuturnya.

Melalui karya ini, Novyandi berharap, pendekatan kesenian bisa mengangkat isu lingkungan, khususnya sungai ke tengah perhatian publik. Lewat kesenian, kata dia, juga bisa membantu masyarakat untuk mendapat perspektif berbeda tentang hidup berdampingan dengan sungai.

"Pendekatan kesenian juga bisa dijadikan hal yang paling masuk akal dalam mengangkat isu sungai. Karena menurut saya kesenian akan memberi masyarakat pengalaman praktikal dan pengetahuan sekaligus bagaimana hidup berdampingan dengan objek sungai tersebut," tandasnya.(*)