Mitigasi Perubahan Iklim

Bambu Tanaman Sejuta Manfaat, Efektif untuk Mitigasi Perubahan Iklim

Bambu, tanaman pelindung yang memberi keteduhan sekaligus menciptakan lingkungan berudara segar.

Petugas merawat bambu di arboretum bambu di Udjo Ecoland, Cimenyan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Senin (6/2). Udjo Ecoland merupakan area agrowisata yang di inisiasi oleh Saung Angklung Udjo dan melibatkan masyarakat untuk berpartisipasi terkait konservasi bambu serta pengolahan sampah terpadu, wisata pertanian dan peternakan. Foto: ANTARA

apahabar.com, JAKARTA - Bambu, tanaman pelindung yang memberi keteduhan sekaligus menciptakan lingkungan berudara segar. Sejak lama tanaman dengan nama ilmiah Bambusoideae didaulat menjadi tanaman batas desa yang merupakan jenis tanaman konservasi.

Bambu juga memiliki sistem perakaran serabut yang berfungsi menjaga ekosistem air. Itu sebabnya, kawasan yang ditumbuhi bambu biasanya memiliki air yang melimpah. 

Sejumlah kalangan menyebut bambu sebagai rumput raksasa, lantaran bentuknya yang berumpun menyerupai rumput.

Hal itu diamini Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim (DPPPI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sarwono Kusumaatmaja. Dia mengatakan Indonesia merupakan tempat yang unik dalam bidang bambu.

Di seluruh dunia saat ini terdapat lebih dari 1.500 spesies bambu yang terangkum dalam 90 famili tumbuhan.

Baca Juga: Riwayat Angklung, dari Bilah Bambu Jadi Musik Padu

"Indonesia mempunyai kurang lebih 176 spesies bambu atau 10 persen dari keseluruhan spesies bambu di dunia," ungkap Sarwono dalam sebuah diskusi tentang bambu di Jakarta.

Sekitar 50 persen tanaman bambu yang berkembang di negara ini dapat digolongkan sebagai tumbuhan endemik. 

Tanaman bambu tersebar merata dan tumbuh dengan baik di wilayah beriklim tropis dan juga subtropis di seluruh dunia, khususnya di Benua Asia, Benua Afrika, dan Benua Amerika.

"Oleh karena itu, bambu telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar sebagai tanaman hias, kerajinan tangan, perkakas, mebel, bahkan alat musik, terutama bagi mereka yang bermukim di kawasan pedesaan," kata Sarwono.

Sedangkan di kawasan perkotaan, pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat dipandang memiliki kebutuhan terhadap sandang, pangan.

Baca Juga: Bakar Batu hingga Meriam Bambu, Ini 5 Tradisi Perayaan Natal di Indonesia Timur

"Dan perlindungan yang membuat fungsi bambu kian meluas dari waktu ke waktu," ujarnya.

Secara umum, tanaman bambu memiliki bentuk dan ukuran yang sangat berbeda, dari yang berukuran batang kecil hingga yang berukuran tinggi mencapai 30 meter.

"Uniknya bagi Indonesia, kita adalah rumah bagi jenis yang paling umum di antara komunitas bambu ini, yaitu bambu tropis yang cenderung memiliki batang yang lebih tebal daripada bambu lain dengan batang lebih ramping dan akar yang menyebar," ungkap Sarwono.

Atas potensi dan manfaat bambu yang sangat banyak, sudah sepantasnya Indonesia memasukkan bambu sebagai tanaman penting yang perlu mendapatkan perhatian serius agar populasinya tetap terjaga.

Mitigasi perubahan iklim

Dalam berbagai Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa, Indonesia sering menyinggung tentang peran bambu yang berfungsi untuk memitigasi perubahan iklim.

Baca Juga: Melalui Sepeda Bambu, Menteri Teten: Saatnya Gowes

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya bahkan menyebut bambu punya peran ekologis untuk menghadapi ancaman lingkungan dan dampak buruk perubahan iklim.

Sementara itu, data Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang dilakukan di Kebun Raya Bali menunjukkan, satu rumpun bambu pentung berumur lima tahun dengan jumlah 20 batang dan tinggi rata-rata 15 meter dengan diameter batang 10 sentimeter bisa mengkonservasi air sebanyak 391,22 meter kubik atau setara 391,22 ribu liter per hektare.

"Bahkan, total biomassa yang mampu disimpan oleh tanaman bambu berkisar 87,35 ton per hektare," tulis riset BRIN.

Sejauh ini, Indonesia belum mempunyai data akurat tentang luas bambu mengingat tanaman itu tumbuh secara sporadis dengan angka perkiraan mencapai lebih dari 1 juta hektare.

Direktur Eksekutif Yayasan Bambu Lestari Monica Tanuhandaru menuturkan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan pemerintah daerah melalui program seperti Indonesia's FOLU Net Sink 2030 bisa mendapatkan banyak manfaatnya dengan pengembangan agroforestri bambu.

Baca Juga: Mengulik Strategi Negeri Tirai Bambu Kuasai Perdagangan Dunia lewat ‘Made in China’

Pada tahun 2021, ia mengisahkan, Badai Seroja yang menyapu wilayah Nusa Tenggara Timur membuat banyak rumah rusak dan hancur. Namun, desa-desa yang dikelilingi hutan bambu relatif aman dari bencana alam tersebut.

Bahkan, rumah-rumah penduduk yang terbuat dari bambu, termasuk kayu,  juga relatif aman dari guncangan gempa bumi yang terjadi di Cianjur, Jawa Barat, pada tahun 2022 lalu.

"Hal yang kami inginkan adalah setiap desa memiliki cadangan bambu untuk konsumsi mereka sendiri untuk value change dan supply chain," ujar Monica.

Itu sebabnya, Yayasan Bambu Lestari mendorong 74.000 desa di Indonesia, terutama daerah yang sulit dijangkau untuk menanam bambu melalui pola wanatani dengan pangan. Itu penting agar populasi bambu kian bertambah dan bisa membantu restorasi lahan kritis sebagai salah satu upaya memitigasi perubahan iklim.

Baca Juga: Viral Copenhagen Fashion Week, Model Bergaun Ramah Lingkungan Jadi Sorotan

Selain itu, Yayasan Bambu Lestari juga tengah menyiapkan sebuah peta tentang agroforestri bambu yang mendata tentang kekayaan bambu di Indonesia, terkhusus bambu endemik yang tidak ada di negara lain.

Langkah Kolaborasi

Langkah untuk menjadikan bambu sebagai solusi alam, memitigasi perubahan iklim, perlu kolaborasi berbagai pemangku kepentingan. Hal ini tak cukup hanya dilakukan oleh pemerintah pusat ataupun lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam bidang kelestarian lingkungan saja. Kegiatan itu harus melibatkan pemerintah daerah, pemerintah desa, hingga masyarakat sebagai komponen akar rumput.

Sarwono Kusumaatmaja yang pernah menjabat sebagai Menteri Lingkungan Hidup (1993-1998) mengungkapkan Indonesia pernah menjadi tuan rumah Kongres Bambu Internasional ke-empat di Bali pada tahun 1995.

Sebagai tindak lanjut dari konferensi internasional tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup menyusun semacam naskah tentang pengembangan strategis bambu yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

"Regulasi yang telah berusia hampir tiga dekade tersebut masih belum ditinjau kembali dan diperkaya isinya. Padahal berbagai perubahan telah terjadi dalam rentang waktu yang panjang tersebut," terang Sarwono.

Baca Juga: Sadari Bahaya Pemanasan Global, Rayakan Hari Pohon Sedunia Tiap 21 November

Analis Kerja Sama Teknis Standarisasi dari Pusat Standarisasi Instrumen Ketahanan Bencana dan Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Desy Ekawati mengatakan mitigasi perubahan iklim adalah tanggung jawab lintas sektor untuk menyelamatkan planet Bumi dari ancaman buruk pemanasan global.

Hal itu bisa menimbulkan berbagai bencana alam, mulai dari kenaikan muka air laut, suhu yang lebih panas, perubahan cuaca secara signifikan, mengganggu suplai makanan, hingga menimbulkan berbagai penyakit baru.

Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memanfaatkan bambu untuk menurunkan gas rumah kaca. Wilayah itu telah memproduksi 2,5 juta bibit bambu dan menanam bambu pada lahan seluas 1.300 hektare sebagai upaya mendukung program Indonesia's FOLU Net Sink 2030 yang digagas oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui agroforestri bambu.

Yayasan Bambu Lestari sempat menghitung jika agroforesti bambu berjalan di tujuh provinsi untuk merestorasi lahan kritis yang ada pada sepadan sungai seluas 300.000 hektare, maka bambu mampu memberikan nilai valuasi yang cukup besar.

Baca Juga: Hadapi Perubahan Iklim, Pembangunan IKN Usung Konsep Kota Hutan

"Angkanya mendekati angka Rp10 triliun dalam waktu enam tahun sejak penanaman dengan investasi awal hanya sebesar Rp3 triliun," ungkap Monica.

Bila melihat letak geografis dan astronomis Indonesia, maka bambu punya potensi untuk dikembangkan dengan garis besar melakukan mitigasi perubahan iklim.

"Di satu sisi, tanaman berumpun tersebut juga bisa memberikan manfaat ekonomi melalui berbagai produk olahan dari pangan, sandang, hingga papan, agrowisata sampai seni," tandasnya.