Pemilu 2024

Bahaya Disinformasi di Sekitar Penyelenggaraan Pemilu

DEEP Indonesia mengungkap disinformasi mengenai penyelenggaraan Pemilu 2024 telah beredar luas di jagad media sosial. Kondisi tersebut berpotensi berimbas pada

Ketua KPU Hasyim Asy'ari (tengah) bersama anggota KPU August Mellaz (kiri) dan Mochamad Afifuddin (kanan) memberikan keterangan pers di Gedung KPU, Jakarta, Jumat (3/11/2023). Foto: ANTARA

apahabar.com, JAKARTA - DEEP Indonesia mengungkap disinformasi mengenai penyelenggaraan Pemilu 2024 telah beredar luas di jagad media sosial. Kondisi tersebut berpotensi berimbas pada netralitas lembaga penyelenggara pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Direktur DEEP Indonesia Neni Nur Hayati menyebut sederet ancaman netralitas penyelenggaraan pemilu terlihat dengan adanya upaya untuk mengotak-atik regulasi perundang-undangan mengenai keterlibatan eks mantan koruptor dalam kontestasi pemilu.

"Yang paling jelas kemarin akan dihilangkannya debat cawapres. Kemudian ada debat cawapres tapi kemudian capresnya boleh ngomong. Padahal ini sudah jelas dalam UU No. 7 tahun 2017 dan PKPU 15 tahun 2023 berkaitan pemilu kampanye 2024," katanya di Jakarta, dikutip Minggu (17/12).

Baca Juga: Waduh! Ternyata Politik Dinasti Tumbuh Subur di Negara Demokrasi

Neni juga menjabarkan sebelumnya sempat ramai adanya isu penyusupan server di KPU dengan tujuan untuk memanipulasi suara melalui teknologi informasi.

Sementara itu, imbuh Neni, disinformasi lainnya yang pernah terjadi mengenai kotak suara kardus yang sempat dituduh berbahan kardus biasa. Padahal, kotak suara tersebut terbuat dari bahan duplek berbahan antiair dengan ketahanan berat mencapai 80 kg.

"Ada juga pengacauan informasi pemilu yang disinformasi ini mendelegitimasi untuk kontestasi pemilu yang sedang berlangsung. Ini yang kita khawatirkna bersama-sama," terangnya.

Baca Juga: Kekuatan Oligarki Setir Penuntasan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu

Baca Juga: Langkah Abu-abu 3 Capres soal Penyelesaian Pelanggaran HAM di Papua

Kecerobohan komunikasi publik dari penyelenggara pemilu menurutnya akan berpotensi menyesatkan peserta pemilu. Termasuk di antaranya akan membuat kebingungan bagi pemilih karena inkonsistensi informasi yang disampaikan.

Disinformasi di sekitar penyelenggara pemilu, kata Neni, merupakan bentuk gagalnya KPU mengimplementasikan UU No.14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Padahal, UU tersebut mendorong lembaga negara yang berkaitan dengan kepentingan publik agar terbuka dengan informasi.

Baca Juga: Media Digital Berkembang, Kualitas Demokrasi Menurun

Faktanya, berdasarkan penelusuran Neni di dalam website KPU tidak banyak informasi yang secara komprehensif mengenai rekam jejak para calon yang akan menduduki kursi eksekutif dan legislatif.

"Perlu diketahui kemarin kita juga melakukan penelusuran ada 28 eks napi koruptor yang sudah diumumkan KPU. Sebanyak 17 di antaranya status mantan koruptor disembunyikan dengan alasan informasi yang dikecualikan dan perlindungan data pribadi," jelasnya.