Opini

B30 Terkesan Dipaksakan, dan Tak Sepenuhnya Sesuai NDPE

Oleh: Ismail Arrasyid TIAP tahun, kebakaran hutan dan lahan selalu melanda Sumatera dan Kalimantan. Kondisi petani…

Pemerintah Pede B30 Bisa dimulai November 2019. Foto-CNN Indonesia

Oleh: Ismail Arrasyid

TIAP tahun, kebakaran hutan dan lahan selalu melanda Sumatera dan Kalimantan.

Kondisi petani dan buruh yang masih jauh dari kata sejahtera serta konflik lahan jadi atensi untuk pemerintah.

Hal itu menandakan banyak hal yang masih harus diperbaiki agar penggunaan minyak sawit sebagai sumber bahan bakar untuk biodiesel harus berasal dari sumber yang dikelola secara berkelanjutan dan bertanggung jawab.

Peran serta pihak keuangan seperti bank dan lembaga keuangan non-bank dalam memberikan pinjaman kepada perusahaan minyak sawit sebagai penyalur CPO untuk biodiesel yang sudah ditunjuk oleh pemerintah Indonesia ke Pertamina dalam Kepmen ESDM No.2018K/10/MEM/2018 sangat penting dalam memilih perusahaan minyak sawit yang sudah memiliki komitmen berkelanjutan dalam komitmen No Deforestation, No Peat Development and No Exploitation (NDPE).

Kebijakan pemerintah yang ingin menaikkan komposisi minyak nabati untuk solar dari 20% (B20) menjadi 30% (B30) pada awal 2020 nanti dinilai sangat tergesa gesa.

Sementara, kebijakan hijau pemerintah dalam hal ini penerapan NDPE belum sepenuhnya dilakukan. Bahkan terkesan mengabaikan. Dikhawatirkan malah akan menambah rentang konflik sosial yang terjadi di masyarakat.

Itu bisa dilihat pada kasus kebakaran lahan yang terjadi di sepanjang 2019 ini masih terjadi kebakaran hutan dan lahan yang di mana terdapat di beberapa konsesi perkebunan.

Ribuan masyarakat terpaksa menghirup udara beracun sisa pembakaran lahan.

BNPB menyebutkan masyarakat yang terserang ISPA sejak Februari sampai dengan September 2019 total 919.516 jiwa.

Sementara data rilis KLHK mencatat luas karhutla dari Januari hingga September 2019 sebesar 857.756 hektare dengan rincian lahan mineral 630.451 ha dan gambut 227.304 ha.

Berikut ini luasan lahan terdampak baik mineral dan gambut di beberapa provinsi yang sering terjadi karhutla setiap tahunnya.

Luas lahan terbakar di Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) 134.227 ha, Kalimanan Barat (Kalbar) 127.462 ha, Kalimantan Selatan (Kalsel) 113.454 ha, Riau 75.871 ha, Sumatera Selatan (Sumsel) 52.716 ha dan Jambi 39.638 ha.

Dan ini merupakan kasus kebakaran terbesar selama 3 (tiga) tahun terakhir.

Kemudian konflik lahan akibat pembukaan kelapa sawit masih terjadi padahal moratorium ijin perkebunan kelapa sawit belum dicabut oleh Presiden Joko Widodo.

Dan lagi lagi masyarakatlah yang menjadi korban.

Lalu bagaimana dengan petani dan buruh?

Hingga saat ini pun kebijakan kebijakan yang berpihak pada petani terutama petani kelapa sawit mandiri masih jauh dari kata sejahtera.

Di mana harga Tandan Buah Sawit (TBS) sangat murah yang tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan.

Sebelas duabelas dengan petani, kondisi buruh pun juga sangat jauh dari kata sejahtera, terutama buruh harian lepas.

Yang dalam per bulan tenaga harian lepas tersebut bisa mendapatkan upah yang sangat jauh lebih rendah dari upah minimum yang ditetapkan oleh pemerintah

Pemerintah harus membuat regulasi khusus yang menyangkut keberlanjutan ini dengan standar dan indikator yang terukur.

Sehingga ke depan tidak terulang lagi kebakaran hutan dan lahan tersebut.

Perlu diingat bahwa Indonesia penghasil CPO terbesar, dan memiliki kebijakan biofuel di mana ini harus didukung dengan pemasok biofuel yang bersih dari pelanggaran HAM dan lingkungan.

Dari perusahan-perusahaan yang disegel oleh pemerintah dalam hal ini GAKUM KLHK mendapati ada grup pemasok CPO ke Pertamina.

Kita mau biofuel yang bersih dari praktik-praktik pelanggaran HAM dan lingkungan, sehingga kita bisa mengatakan bahwa produksi biofuel kita bersih dari pelanggaran tersebut.

Pemerintah harus membuat kebijakan berkelanjutan yang tidak ada lagi pembukaan hutan, tidak ada lagi perkebunan di lahan gambut dan hutan gambut dan tidak melakukan eksploitasi terhadap manusia.

Namun bukan hanya membuat kebijakan namun juga menerapkan, sehingga biofuel kita benar-benar bersih.

Sehingga tidak ada lagi tekanan yang jelek atas komoditi sawit dan program Biofuel.

Dengan demikian Kita bisa berjalan tegak karena sudah bersih dari kerusakkan lingkungan dan pelanggaran HAM.

Dan Pertamina selaku BUMN yang membeli bahan baku minyak nabati untuk pemenuhan 30% biofuel, harus menerapkan kebijakan penerapan No Deforestation, No Peat Development and No Exploitation (NDPE). Dan juga harus ditaati oleh perusahaan perusahaan perkebunan kelapa sawit agar kesejahteraan yang menjadi dasar sebuah investasi benar benar bisa dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. (*)

Indikator NDPE:

No Deforestation
• Tidak menggunakan lahan yang memiliki nilai konservasi tinggi atau High Conservation Value (HCV)
• Tidak menggunakan lahan yang memiliki stok karbon tinggi atau High Carbon Stock (HCS)
• Tidak membakar lahan
• Memiliki dokumen - dokumen legal terhadap lahan yang dimiliki oleh perusahaan yaitu seperti AMDAL/UKL-UPL/RKL-RPL, sertifkat HGU
No Peat Development
• Tidak membuka lahan pada lahan gambut dengan kedalaman berapa pun
• Melakukan praktik manajemen yang baik untuk lahan yang sudah beroperasi diatas lahan gambut
• Melakukan restorasi gambut
No Exploitation
• Tidak melanggar hak tanah berdasarkan hukum dan ulayat
• Tidak melanggar proses dan prosedur akuisisi tanah
• Tidak melanggar prosedur skema smallholder
• Tidak melanggar hak - hak masyarakat adat
• Tidak melanggar hak - hak pekerja
• Tidak merusak habitat hewan dan tumbuhan terutama yang spesies yang dilindungi dan hampir punah

Penulis adalah Program Officer di PADI Indonesia, Lembaga Swadaya Masyarakat yang memiliki kepedulian dan perhatian terhadap proses pembangunan (pertanian, kehutanan, perikanan dan perkebunan) yang berdasar pada prinsip - prinsip kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup.

Isi tulisan sepenuhnya tanggung jawab penulis