Awal Ramadan Berpotensi Serentak, Tapi Idulfitri Berbeda

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkap potensi awal Ramadhan 1444 Hijriah serentak berdasarkan pertimbangan ilmu astronomi.

Petugas mengamati posisi hilal menggunakan teropong dalam rukyatul hilal di Pantai Jerman, Kuta, Bali, beberapa waktu lalu. Foto: Antara

apahabar.com, JAKARTA - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkap potensi awal Ramadan 1444 Hijriah serentak berdasarkan pertimbangan ilmu astronomi. Namun tidak demikian dengan Idulfitri.

Awal Ramadan dan Idulfitri memang kerap berbeda antara pemerintah dengan sejumlah ormas keagamaan besar.

Hal tersebut terkait dengan perbedaan kriteria dalam metode hisab (perhitungan) dan rukyat (pengamatan) bulan baru kamariah.

Muhammadiyah menggunakan kriteria Wujudul Hilal, sementara Nahdlatul Ulama dan beberapa ormas Islam lain memakai kriteria Imkan Rukyat (visibilitas hilal).

Sementara untuk awal puasa dan lebaran 2023, BRIN mengungkap potensi kesamaan, meski tidak keseluruhan.

"Terbuka potensi kesamaan awal Ramadan 1444 Hijriah," papar Profesor Riset Astronomi-Astrofisika di Pusat Riset Antariksa BRIN, Thomas Djamaluddin, dikutip dari CNN, Rabu (8/3).

"Syaratnya apabila posisi bulan waktu magrib 22 Maret 2023 di Indonesia sudah memenuhi kriteria baru yang disepakati Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS)," imbuhnya.

Sesuai dengan kesepakatan, tinggi minimal hilal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat (3-6,4) dan sudah memenuhi kriteria Wujudul Hilal [WH].

Muhammadiyah sendiri sudah menetapkan 23 Maret sebagai awal bulan puasa (1 Ramadan 1444 H). Sementara Idulfitri 2023 atau 1 Syawal 1444 H, ditetapkan 21 Mei 2023.

"Namun demikian, terbuka potensi perbedaan Idulfitri 1444. Penyebabnya potensi posisi bulan di Indonesia belum memenuhi kriteria baru MABIMS (3-6,4) dalam waktu magrib 20 April 2023," beber Thomas.

"Kalau menggunakan versi (3-6,4), 1 Syawal 1444 jatuh 22 April 2023. Sedangkan versi WH, 1 Syawal 1444 jauh 21 April 2023," urainya.

Dalam penentuan awal bulan kamariah, Muhammadiyah sendiri memakai hisab hakiki dengan kriteria wujudul hilal. Artinya matahari terbenam lebih dahulu daripada bulan, walaupun hanya berjarak 1 menit atau kurang.

Dalam kriteria WH tersebut, bulan kamariah baru dimulai apabila di hari ke-29 berjalan ketika matahari terbenam terpenuhi tiga syarat bersamaan atau kumulatif.

Syarat tersebut adalah ijtimak (bulan, bumi, matahari di posisi sejajar), ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam, serta ketika matahari terbenam dengan bulan masih di atas ufuk.

Apabila salah satu dari kriteria tersebut tidak dipenuhi, maka bulan berjalan digenapkan 30 hari.