AS Gagal Bayar

AS Berpotensi Gagal Bayar, Ini Dampaknya bagi Ekonomi Indonesia

AS berpotensi gagal bayar utang secara tepat waktu. Peneliti INDEF, Abdul Manap Pulungan, menilai hal ini tidak berpengaru signifikan terhadap ekonomi Indonesia

Menteri Keuangan Amerika Serikat, Janet Yellen mengungkapkan jika Amerika Serikat terancam gagal bayar utang atau default. Foto: freepik.com/tzido

apahabar.com, JAKARTA – Amerika Serikat (AS) berpotensi gagal bayar utang secara tepat waktu, karena memiliki total utang mencapai USD31,45 triliun atau setara Rp462 ribu triliun (kurs Rp14.700 per USD) per 31 Maret 2023. Hal itu akan berdampak pada jutaan orang dan menimbulkan kekacauan ekonomi serta fiskal di AS dan di seluruh dunia.

Peneliti Center of Macroeconomics and Finance (Indef) Abdul Manap Pulungan menilai hal itu tidak berdampak signifikan terhadap perekonomian Indonesia. Itu karena yang diserang adalah sektor keuangan.

“Dampak dari potensi kegagalan bayar utang AS terhadap perekonomian Indonesia bersifat temporary, yang artinya tidak akan berdampak sangat jauh karena yang diserang dari sektor keuangan,” ujarnya dalam Press Conference Ekonomi Indonesia di Tengah Pusaran Risiko Gagal Bayar Utang Amerika, Senin (8/5).

Abdul menjelaskan potensi tersebut sebenarnya sudah pernah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Ini bukan kali pertama AS berpotensi gagal bayar. Kondisi serupa pernah terjadi pada tahun 2014, 2015, 2016, dan 2018.

Baca Juga: Ngeri! Erick Prediksi Dapen BUMN Gagal Bayar 2 Tahun Lagi

Kala itu, sambung Abdul, fenomena gagal bayar menyeruak karena adanya extraordinary measures ineffect. Kalau pun kini AS benar-benar tidak mampu membayar tagihan, maka dampaknya berkaitan dengan dependensi (ketergantungan) Indonesia terhadap negara tersebut.

Abdul memaparkan ada empat sektor yang akan terpengaruh fenomena gagal bayar utang AS, yakni perdagangan, penanaman modal, moneter, juga fiskal. Dalam sektor perdagangan, persentase ekspor Indonesia kini berada di angka 9,22 persen.

Namun, jika AS akhirnya memutuskan untuk melakukan shut down, maka akan ada penurunan permintaan terhadap ekspor Indonesia.

Adapun untuk sektor penanaman modal, Abdul menilai dampaknya tidak begitu signifikan. “Sektor penanaman modal dari AS itu sekitar 6 persen. Sebetulnya tidak begitu signifikan, tapi rata-rata investasinya di sektor-sektor strategis, khususnya energi,” jelasnya.

Baca Juga: Kerja Sama RI dan ADB, Menkeu: Saat Ini Capai 4,1 Miliar Dolar AS

Sementara dari sektor moneter, Abdul menegaskan bakal terjadi transmisi lewat nilai tukar. Hal ini pada akhirnya memengaruhi suku bunga, sebab capital outflow terjadi saat gejolak dari sisi moneter mentransmisi lewat nilai tukar.

Potensi gagal bayar utang AS juga memengaruhi sektor fiskal. Ketika gejolak ini terus terjadi maka akan berpengaruh terhadap imbal hasil SBN atau surat berharga negara. 

“Ketika imbal hasil ini meningkat, tentu bakal merugikan karena besarnya biaya yang harus dikeluarkan pemerintah setiap lelang yang dilakukan. Tentu ini akan berpengaruh terhadap biaya cicilan dan pokok utang yg cenderung akan naik,” papar Abdul.

Dampak dari sisi SBN sendiri memang sudah mulai terasa, di mana persentasenya bergerak menurun. Namun, belakangan, SBN mulai kembali meningkat hingga mencapai angka 6,557 persen.

Baca Juga: BI Perintahkan Perbankan Waspadai Dampak Krisis Finansial Amerika

Abdul menegaskan bahwa sebetulnya gejolak yang terjadi di AS ini sangat jamak, mulai dari masalah kebijakan moneter yang lantas menimbulkan potensi gagal bayar. Terlebih lagi, kini ada cenderungan negara-negara lain untuk mengurangi kebergantungan terhadap penggunaan dolar.

“Tentu situasi ini akan menghimpit ekonomi AS, di mana negara ini menjadi pemilik sekitar 20 persen dari output ekonomi global,” tutupnya.

Beberapa waktu lalu, Menteri Keuangan AS memperingatkan bahwa negaranya mungkin tidak mampu membayar semua tagihan secara penuh dan tepat waktu. Mereka baru bisa melunasi utang paling cepat 1 Juni mendatang.

Abdul menegaskan jika AS sampai gagal membayar utangnya, maka kondisi perekonomian global mendapat pengaruh buruk. Kondisi itu tidak hanya berpengaruh pada perekonomian domestik AS, namun juga ekonomi dunia yang berimbas pada munculnya krisis keuangan global.