Teka-Teki Kepala Demang Lehman

[ANALISIS] Syarat Muskil Belanda Pulangkan Kepala Demang Lehman

Di saat pemerintah merayakan kepulangan 1.500 artefak sejarah dari Belanda, masyarakat di Kalimantan Selatan masih terus menanti kepulan

Ilustrasi hukuman gantung semasa Hindia Belanda. Foto: Koleksi Museum Tropen Belanda

apahabar.com, JAKARTA - Di saat pemerintah merayakan kepulangan 1.500 artefak sejarah dari Belanda, masyarakat di Kalimantan Selatan terus menanti pengembalian kepala pahlawan mereka; Demang Lehman.

Serupa kematiannya, wacana pemulangan kepala Demang Lehman masih menjadi teka-teki yang seakan tak berkesudahan. Terdapat sederet aral memulangkan kepala sang syahidin asal Banjar, Kalimantan Selatan tersebut.

Bersemayam di museum Leiden, Belanda kembali meminta bukti valid atau DNA dari keturunan pengawal Pangeran Hidayatullah pemimpin Kesultanan Banjar yang memerintah antara tahun 1859 sampai 1862.

Menurut sejarawan Kalsel, Mansyur, tuntutan Belanda tersebut terbilang tidak memungkinkan dan bahkan hampir mustahil dilakukan.

Baca Juga: Blak-blakan Pangeran Cevi soal Pemulangan Kepala Demang Lehman 

"Jangankan menelusuri keturunannya, lokasi di mana Demang Lehman dimakamkan pun belum bisa ditemukan sampai sekarang," jelas dosen sejarah Universitas Lambung Mangkurat itu dihubungi apahabar.com, Selasa (11/7). 

Mansyur kemudian melihat kembali catatan berita acara vonis Demang Lehman maupun tulisan-tulisan Meyners tentang wasiat Demang Lehman sebelum dihukum gantung di alun-alun Martapura, 27 Februari 1864 atau bertepatan 19 Ramadan 1280 hijriah, sore hari. Sebagai informasi, Meyners merupakan seorang tentara berpangkat Letnan Kolonel Hindia Belanda.

Ilustrasi hukuman gantung semasa Hindia Belanda. Foto via Jejak Rekam

Menilik catatan itu, kata Mansyur, kemungkinan besar Demang Lehman dimakamkan di wilayah Martapura dan sekitarnya. Sebab, ia telah berwasiat agar jasadnya tak dibawa keluar meninggalkan Borneo atau Kalimantan selamanya meskipun dia harus mati, dihukum mati dengan cara digantung.

Baca Juga: Kepala Demang Lehman Kembali, Belanda Bisa Hilang Muka?

"Hanya saja dalam penelusuran beberapa arsip kolonial, belum didapatkan data di mana Demang Lehman atau Solehmah dimakamkan," jelas. 

Pun, sangat sulit menelusuri keberadaan keturunan Demang Lehman di wilayah Kalimantan Selatan untuk kemudian dilakukan pengecekan DNA.

Apalagi melihat dari sudut pandang historis. Pada waktu Demang Lehman menjalani masa penahanan menjelang eksekusi, tak ada seorang pun keluarga atau pendukungnya yang menjenguk atau sekadar mempertanyakannya.

Bulan ramadan menjadi momentum berakhirnya perlawanan senjata Demang Lehman untuk menggulikan kekuasaan Belanda. Syarif Hamid yang berhasil menangkap Demang Lehman kemudian mendapat hadiah sebagai penguasa Batulicin.

Baca Juga: Wacana Pemulangan Kepala Demang Lehman, Belanda Minta Data DNA!

Pasalnya, ketika itu penduduk sangat takut disangkutpautkan dengan Demang Lehman, demikian dituliskan wartawan Surat Kabar Sumatra Nieuws en Advertebtie Blad edisi 7 Mei 1864. Sisi lain, sebelum Demang Lehman meninggal dia hanya punya satu permintaan selain wasiatnya.

Permintaannya, yakni agar proses pengurusan jenazah dan pemakamannya diurus istrinya. Tapi sayang, hal tersebut tidak pernah terealisasi. Mengacu tulisan Meyners, sesuai data di awal, tiada ada satu keluarganya pun yang menyaksikannya dan tidak ada keluarga yang menyambut mayatnya.

Meyners hanya menuliskan setelah meninggal, jenazahnya tanpa dikebumikan atau disalatkan kemudian dimakamkan setelah dibawa dari Rumah Sakit di Martapura.

Foto: Koleksi Museum Tropen Belanda

Dalam catatan arsip kolonial Belanda, Demang Lehman pada tahun 1862-1863 sedianya tercatat memiliki putra bernama Gusti Djadin.

Pada sumber lain tertulis Demang Lehman memiliki dua istri. Istri pertama belum ada sumber yang menuliskan namanya. Sementara istri kedua bernama Ratuoe Atidja atau Ratu Atidja.

"Mertua Demang Lehman bernama Pembakkal Koenoer (Pambakal Kunur) yang berdomisili di wilayah Pajukungan dan Alai," jelas sejarawan muda satu ini.

Keberadaan Demang Lehman dengan istrinya terakhir sewaktu berada dalam pelarian di gunung yang curam, Goenong Batu Poengoel atau Gunung Batu Punggul dekat Selelau, di Batulicin.

Baca Juga: Blak-blakan Pangeran Cevi soal Pemulangan Kepala Demang Lehman 

"Kalau diidentifikasi sekarang kemungkinan lokasi ini ada di wilayah Batoepangkat, Desa Sela Selilau, Kecamatan Karang Bintang, Kabupaten Tanah Bumbu, Provinsi Kalimantan Selatan," ujar Mansyur.

Biar tahu sekalian, gunung ini memerlukan perjalanan sehari kecil dari Salelau. Ketika blokade perjuangan Demang Lehman berlangsung beberapa hari, Demang Lehman dan istri serta empat pengikutnya turun gunung dan berangkat ke kampung Selelau, tempat dia menghuni sebuah rumah kosong.

Apakah memungkinkan untuk mencari keturunannya di wilayah Pajukungan dan Alai? Menurut Mansyur, ini juga cukup sulit.

"Karena kalau diurut dari tahun 1864 sejak beliau dieksekusi, setidaknya beliau pasti sudah memiliki beberapa generasi yang tersebar di wilayah Kalimantan Selatan," jelasnya.

Demang Lehman sosok pemimpin dalam sejrah Perang Banjar. Foto: Dok. YPTD

Perlu pencarian ekstra. Penelitian Mansyur dan timnnya dari Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Lambung Mangkurat sejak beberapa tahun yang lalu juga belum menemukan bukti tertulis berupa catatan silsilah keluarga Demang Lehman sampai sekarang.

Pengembalian tengkorak Demang Lehman bisa saja berdampak terhadap bilateral hubungan Belanda dengan Indonesia karena kejahatan perang masa lalu. Mansyur memperkirakan kejahatan perang yang dimaksud oleh Belanda adalah eksekusi mati yang disertai pemotongan kepala.

Baca Juga: Berlian Banjarmasin: Kutukan Sejarah Membuat Belanda Tak Bisa Menjual

Tepat 27 Februari 1864, setelah serangkaian perlawanan yang melibatkan pengkhianatan dari rakyatnya sendiri, Demang Lehman yang memperjuangkan kemerdekaan tanah airnya digantung oleh tentara Belanda. Kepalanya dibawa ke Belanda, sedang sisa tubuhnya masih belum diketahui.

Sebenarnya upaya pemulangan tengkorak itu sudah dimulai sejak 2009 oleh Pemprov Kalsel. Namun, jawaban yang diberikan Leiden kurang memuaskan.

Bagi masyarakat Banjar, kembalinya tengkorak Demang Lehman bisa menjadi penghormatan tertinggi bagi martabat mereka. "Tengkorak tersebut melambangkan perjuangan melawan kekuasaan kolonial," ujar Mansyur.

Bahkan lebih dari itu, kata dia, bangsawan keturunan Banjarmasin ini juga ingin menghormati syuhada dengan mengadakan upacara pemakaman secara Islami bagi Demang Lehman.

Membiarkan bagian tubuh yang tersisa dikubur dengan tidak benar dianggap memalukan. Terlebih di saat pemerintah merayakan kepulangan 1.500 artefak sejarah dari Belanda, masyarakat Banjarmasin masih terus menunggu pahlawan mereka dikembalikan ke rumah aslinya.

"Pada umumnya jelas masyarakat Kalimantan Selatan menginginkan kembalinya tengkorak Demang Lehman," jelasnya. 

Menurutnya, kembalinya tengkorak Demang Lehman berkaitan dengan upaya masyarakat untuk memberikan penguburan yang layak bagi kepala sang syahidin.

Tengkorak kepala Demang Lehman bukan barang pajangan untuk ditonton, melainkan perlu dimakamkan dengan layak sesuai syariat Islam. 

"Beliau adalah pahlawan bagi urang Banjar dalam meperjuangkan kemerdekaan Banua dari cengkeraman penjajah. Sudah sepantasnya dikuburkan di Taman Makam Pahlawan," jelasnya.

Menurutnya, keberadaan kepala Demang Lehman adalah sesuatu monumental bernilai dalam memelihara ingatan generasi muda kepada pahlawannya di masa lalu.

"Pemakaman tengkorak kepala Demang Lehman sebagai upaya menjalankan ajaran Islam karena sosok almarhum menganut Islam."

Itu sebabnya, tengkorak Demang Lehman mestinya dimakamkan sesuai ajaran Islam dengan kembali ke tanah. Bukan sebagai pajangan seperti sekarang. 

Walaupun demikian, menurut Mansyur, masyarakat Indonesia dan Banjar khususnya tentu tidak perlu mengeluarkan ekspresi berlebih ketika tengkorak Lehman dikembalikan.

"Cukup dikembalikan, kita sudah bersyukur karena bisa menguburkan yang secara tidak langsung sudah menjalankan kewajiban sesuai ajaran agama islam," paparnya.

Nilai sejarah tengkorak Demang Lehman, karena berkaitan dengan sejarah identitas dari masyarakat Banjar, menurutnya tentulah sangat signifikan.

Kondisi menguntungkan lainnya, saat ini museum-museum di Eropa sedang refleksi diri atas barang-barang koleksi yang diambil lewat cara perang atau penjarahan.

Belanda sedang terkena krisis ekonomi sehingga sejumlah museum bangkrut atau melebur dengan museum lain untuk bisa bertahan.

"Nah, benda-benda yang ada di dalam museum bangkrut inilah yang kemudian dipertimbangkan, apakah akan dijual, diberikan ke museum lain, atau dikembalikan ke Indonesia."

Strategi diplomasi menjadi kendala. Beberapa kali upaya yang dilakukan beberapa pihak di Kalimantan Selatan belum mendapatkan hasil maksimal.

Perwakilan dan kerabat Kesultanan Banjar, misalnya, pernah melakukan lobi ke museum di Belanda untuk pengembalian tengkorak Demang Lehman serta berlian, juga barang-barang bersejarah lainnya ke kesultanan Banjar.

Namun, permintaan itu belum bisa dikabulkan. Belanda beralasan saat ini secara resmi Kesultanan Banjar sebagai pusat kekuasaan sudah tidak ada.

"Tidak bisa begitu karena dulu itu adalah milik Kesultanan Banjar yang mana statusnya adalah sebuah negara," jelasnya.

Sedangkan saat ini negara Banjar sudah tidak ada lagi. Upaya surat-menyurat, menurut keterangan pihak kesultanan juga sudah pernah dilakukan tapi tidak membuahkan hasil.

Memang terdapat beberapa kepala daerah di Kalsel sempat berusaha mengembalikan tengkorak kepala Demang Lehman. Namun belum berhasil. Di era kepemimpinan H Sahbirin Noor, rencana pemulangan tengkorak pria kelahiran Barabai tahun 1832 itu mengemuka kembali.

Bahkan, gubernur yang akrab disapa Paman Birin itu, kata Mansyur, mulai menyusun beberapa langkah pengembalian tengkorak. Salah satunya yang sudah dilaksanakan Gubernur Paman Birin untuk mengembalikan tengkorak adalah bekerjasama dengan sejarawan Belanda, Donald Tick.

Nama Demang Lehman diabadikan sebagai nama salah satu stadion di Kalimantan Selatan. Foto-Edo/Persemar Official

Karenanya, untuk mengembalikan tengkorak kepala Demang Lehman tersebut masih perlu kajian yang mendalam. Atas dasar itulah pada awal 2020 dibentuk tim yang melibatkan cagar budaya dan permuseuman.

Selain itu, kendala lainnya masih berkutat pada kekhawatiran pihak Kerajaan Belanda yang dinilai Mansyur sangat wajar. Sebab, konstelasi politik nasional juga bisa berimbas hubungan diplomatik kedua negara.

Belajar dari pengalaman saat mengembalikan tengkorak Raja Ghana, Badu Bonsu beberapa waktu lalu, hubungan Belanda dengan Ghana sempat terputus, karena situasi politik yang memanas di Ghana.

"Hal semacam ini tak ingin terulang, karena hubungan Indonesia dengan Belanda sudah mesra, meski memiliki akar historis yang sangat kental," pungkas Mansyur.