Hot Borneo

[ANALISIS] Ancaman Krisis di Tengah Jorjoran Ekspor Kalsel

apahabar.com, BANJARBARU – Tiga pengusaha Mesir datang membawa misi bisnis ke Kalimantan Selatan. Mereka tertarik dengan…

Pengusaha Mesir menjajaki sejumlah kerja sama bisnis dengan pemerintah dan sejumlah pengusaha Kalsel. Foto: RRI

apahabar.com, BANJARBARU – Tiga pengusaha Mesir datang membawa misi bisnis ke Kalimantan Selatan. Mereka tertarik dengan potensi kekayaan alam Bumi Lambung Mangkurat. Sisi lain, sinyalemen krisis pangan dilontarkan Presiden Jokowi di G7 Jerman.

TENGAH pekan lalusetibanya di Bandara Syamsuddin Noor, rombongan dari Negeri Piramida tersebut langsung dibawa ke kegubernuran Kalsel. Di sana sudah menunggu belasan pelaku usaha lokal.

Mereka diterima oleh Sekretaris Daerah Kalsel, Roy Rizali Anwar, dan Kepala Dinas Perdagangan Kalsel, Birhasani. Ketiganya berlatar pengusaha pangan, garmen, pertanian, perikanan, hingga kerajinan tangan.

Dalam kesempatan tersebut, Birhasani kemudian mengenalkan 17 pelaku usaha lokal Kalsel sekaligus mempromosikan produk dagangannya. Dari sektor pertanian hingga peternakan.

Begitu pula sebaliknya, Atase Perdagangan Indonesia untuk Mesir juga mengenalkan pengusaha asal Benua Afrika tersebut satu per satu lengkap dengan profil usahanya.

Komunikasi terjalin hangat, mereka saling bertukar sampel produk masing-masing. Terjalinnya komunikasi bisnis tersebut, kata Birhasani, berangkat dari relasi salah satu pengusaha asal Kalsel dengan pengusaha Mesir.

“Pengusaha itu juga dekat dengan orang-orang di KBRI di Mesir. Pihak Mesir tertarik dengan potensi alam dan beberapa produk Kalsel, setelah mereka lakukan pembahasan yang intens,” ujar Birhasani menjelaskan latar pertemuan.

“Masalah kelangkaan pangan akibat perubahan iklim menjadi salah dua faktor penyebab inflasi dunia, selain tentunya perang Rusia-Ukraina”

Kerja sama kemudian terjalin di sektor pertanian dan peternakan. Antara PT Amerra Mentaya Raya dengan Egypt Mediterranean Service. Penandatanganan kerjasama dilakukan di Kiram Park.

Tak main-main, nilai investasi yang dibukukan mencapai 12 juta USD atau setara Rp178 miliar. Rinciannya; 5 juta USD untuk sektor pertanian, terdiri dari sawit, rempah-rempah, jagung, dan kopi. Kemudian USD 7 juta untuk sektor peternakan; sapi dan kambing.

Gubernur Kalsel Sahbirin Noor, kata Roy, menyambut baik kerja sama yang dilakukan dua perusahaan tersebut. Roy juga menekankan pentingnya produksi di daerah. Sebab, ini salah satu kunci keberlanjutan kerja sama ke depan.

Artinya, produksi dalam negeri perlu ditingkatkan lagi, sehingga selain memenuhi kebutuhan di daerah, juga dapat memenuhi permintaan eksportir.

"Kuncinya adalah sekarang bagaimana kita meningkatkan produksi-produksi sektor yang sudah dikerjasamakan," jelas Roy. Ia kemudian berharap kerja sama ini dapat terus berlanjut, dan nilainya juga dapat terus meningkat.

Wacana ekspor jorjoran itu belakangan diwanti-wanti Ahli Ekonomi dari Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Profesor Muhammad Handry Imansyah.

Kerja sama dengan Mesir di sektor pertanian dan peternakan tentu saja memberi angin segar dari sisi ekonomi. Namun di sisi lain, meningkatnya permintaan luar negeri dapat mengurangi pasokan dalam negeri.

“Terlebih jika harga di luar negeri jauh lebih tinggi dibanding dengan domestik,” ujarnya dihubungi apahabar.com. "Kondisi tersebut seperti kasus harga CPO [minyak sawit] baru-baru ini."

Prof Handry mengingatkan Pemprov untuk lebih jeli mengontrol keran ekspor. Pasalnya, tidak menutup kemungkinan kondisi itu akan mengganggu ketahanan pangan Kalsel sendiri.

“Pembeli produk pertanian dan peternakan ada di luar negeri yang tentunya memiliki potensi untuk meningkatkan produksi,” ujarnya.

Sinyal krisis pangan sedianya sudah dilontarkan Presiden Joko Widodo dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G7 di Jerman bersama sejumlah petinggi negara lainnya. Masalah kelangkaan pangan akibat perubahan iklim menjadi salah dua faktor penyebab inflasi dunia, selain tentunya perang Rusia-Ukraina.

Perubahan iklim di berbagai belahan dunia dinilai sebagai sebab turunnya produksi. Ini turut berimbas pada kelangkaan pasokan yang berakibat meroketnya harga pangan.

"Sarannya, ekspor dikenakan bea keluar sehingga harga di luar negeri menjadi lebih mahal yang berakibat tak bisa bersaing, alhasil lebih baik dijual di dalam negeri," pungkas Prof Handry.