Transisi Energi

Aksi di Kedutaan Jepang, Aktivis Tuntut G7 Hentikan Solusi Palsu Dana Iklim

Bertepatan dengan penyelenggaran KTT G7 di Hiroshima, Jepang, sejumlah aktivis iklim dari masyarakat sipil melakukan aksi di depan Kedutaan Besar Jepang.

Bertepatan dengan momentum penyelenggaran KTT G7 di Hiroshima, Jepang, sejumlah aktivis iklim dari masyarakat sipil melakukan aksi di depan Kedutaan Besar Jepang. Foto: Trend Asia

apahabar.com, JAKARTA - Bertepatan dengan momentum penyelenggaran KTT G7 di Hiroshima, Jepang, sejumlah aktivis iklim dari masyarakat sipil melakukan aksi di depan Kedutaan Besar Jepang. Pada aksi ini, aktivis menggunakan kostum seragam sekolah Jepang sebagai simbol anak muda yang menolak kalah terhadap krisis iklim.

Aksi itu menuntut negara-negara G7 untuk segera menghentikan dukungan pendanaan energi fosil dan solusi palsu pada program transisi energi. Seruan itu ditujukan kepada pemerintah Jepang yang tahun ini bertindak sebagai tuan rumah.

Team Lead 350 Indonesia Sisila Nurmala Dewi mengingatkan negara-negara G7 untuk menghentikan solusi palsu transisi energi dalam skema pendanaan transisi energi dalam bentuk apapun seperti JETP, AZEC atau lainnya di Indonesia.

"Skema pembiayaan transisi energi itu justru membiayai solusi palsu, dapat dipastikan transisi energi di Indonesia akan jalan di tempat atau bahkan gagal,” ujar Sisil dalam keterangan di Jakarta, Jumat (19/5).

Pada aksi ini, aktivis menggunakan kostum seragam sekolah Jepang sebagai simbol anak muda yang menolak kalah terhadap krisis iklim. Foto: Trend Asia

Untuk itu, menurut Sisil, rakyat Indonesia harus memastikan skema pembiayaan tersebut (JETP, AZEC dan lainnya) harus diarahkan menuju transisi energi yang bersih, adil dan lestari.

"Pembiayaan solusi palsu akan mengagalkan cita-cita transisi energi di Indonesia dan memperparah krisis iklim” imbuh Sisil.

Senada, Juru Kampanye Trend Asia Novita Indri mengungkapkan aksi mereka sebagai aksi global yang menuntut lemahnya Komitmen negara-negara G7 terhadap transisi energi yang adil.

Negara-negara G7 sudah seharusnya menyetop solusi palsu transisi energi dalam skema pendanaan transisi energi dalam bentuk apapun seperti JETP, AZEC atau lainnya di Indonesia. Foto: Trend Asia

Kelemahan itu, menurutnya tampak dari berbagai pernyataan Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida yang giat mempromosikan teknologi co-firing amonia dan hidrogen untuk membenarkan penggunaan berkelanjutan pembangkit listrik tenaga batu bara dan gas setelah tahun 2030.

Laporan terbaru menunjukkan bahwa anggota G7 masih mengucurkan pendanaan untuk energi fosil sebanyak 73 Miliar USD untuk periode 2020 dan 2022 atau 2.6 kali lebih banyak dibandingkan untuk energi terbarukan yang hanya mencapai 28.6 Miliar USD di periode yang sama.

"Hal itu menunjukkan bahwa komitmen anggota G7 untuk lepas dari pengunaan dan pendanaan energi fosil seperti gas dan masih setengah hati.” jelas Novita.

Pada aksi ini, aktivis turut membawa Pikachu, kartun ikonik Jepang sebagai simbol anak muda yang menolak kalah terhadap krisis iklim. Foto: Trend Asia

Keanehan lainnya, menurut Novita terletak pada usulan Kementerian ESDM yang siap menggunakan pembangkit listrik berbahan LNG untuk menggantikan pembangkit listrik dari diesel yang didanai oleh skema JETP.

"Hal itu harus ditolak oleh negara-negara G7 sebagai donornya. Negara-negara G7 harus memastikan Indonesia pada jalur energi terbarukan yang sebenarnya," jelasnya.

Mengabulkan dan memberi nafas panjang pada energi fosil seperti usulan Kementerian ESDM untuk gasifikasi, co-firing, amonia atau hidrogen, lanjut Novita, "Artinya transisi energi menemui kegagalan."

Sementara itu, Juru Kampanye Walhi Nasional Abdul Ghofar menuntut penghentian solusi palsu dalam skema pendanaan transisi energi seperti JETP. Negara-negara G7, menurut Ghofar, harus memperbesar komposisi hibah daripada utang dalam skema pendanaan transisi energi di Indonesia.

"Negara-negara G7 sebagai negara maju memiliki rekam dan sejarah jejak karbon yang lebih besar daripada negara-negara berkembang seperti Indonesia, maka tidak seharusnya mereka membuat jebakan utang baru kepada negara-negara berkembang atas nama pembiayaan transisi energi,” terangnya.

Pikachu melintas di Kedutaan Jepang menolak pendanaan iklim yang sifatnya sebagai solusi palsu. Foto: Trend Asia

Lebih lanjut, Ghofar menjelaskan pemerintah Indonesia masih bergantung pada corak produksi ekstraktif, untuk membayar utang luar negeri dari negara maju dan lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan ADB (Asian Development Bank).

"Itu artinya kerusakan lingkungan dan pelepasan emisi karbon skala besar masih akan terus terjadi” paparnya.

Sementara itu, Koordinator Enter Nusantara Azka Wafi mengingatkan bahwa keselamatan anak-anak muda di seluruh dunia akan terancam jika negara-negara kaya G7 memilih keputusan yang salah dan tidak sesuai sains. Jawaban sudah jelas bahwa Indonesia harus segera mengentikan penggunaan fosil seperti batu bara, gas, minyak, nuklir atau solusi palsu lainnya.

"Pilihan energi terbarukan sudah tersedia dan murah. Komitmen-komitmen penghentian batu bara di 2030 harus terjadi.” jelas Azka.