Nasional

AJI Kecam Kesewenang-wenangan Perusahaan Media di Tengah Pandemi

apahabar.com, JAKARTA – Di tengah situasi Pandemi Covid-19, risiko pekerjaan jurnalis dan pekerja media dinilai makin…

Ketika pembatasan sosial dilakukan di sejumlah daerah, para jurnalis harus tetap turun ke lapangan untuk melakukan peliputan dan pekerja media harus rutin berkantor untuk menyusun laporan-laporan peliputan. Foto ilustrasi-Faktualnews.co

apahabar.com, JAKARTA – Di tengah situasi Pandemi Covid-19, risiko pekerjaan jurnalis dan pekerja media dinilai makin berat.

Ketika pembatasan sosial dilakukan di sejumlah daerah, para jurnalis harus tetap turun ke lapangan untuk melakukan peliputan dan pekerja media harus rutin berkantor untuk menyusun laporan-laporan peliputan.

Karena tuntutan pekerjaan yang sangat berisiko, beberapa jurnalis dan pekerja media akhirnya bertumbangan terpapar virus korona.

Berdasarkan data yang dikumpulkan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) sejak Maret hingga September 2020, setidaknya 242 jurnalis dan pekerja media dinyatakan positif Covid-19.

“Namun, alih-alih mendapatkan perlindungan lebih dari perusahaan media tempat mereka bekerja, beberapa jurnalis dan pekerja media justru semakin terampas hak-haknya sebagai pekerja,” ujar Koordinator Bidang Ketenagakerjaan AJI Wawan Abk, dalam siaran tertulisnya, Senin (26/10)

Hingga bulan ke-8 Pandemi Covid-19, AJI menerima sejumlah laporan adanya perusahaan-perusahaan media yang menunda pembayaran gaji, memotong gaji, dan bahkan melakukan PHK sepihak terhadap karyawannya.

Juni 2020 lalu, media siber Kumparan melakukan PHK terhadap sejumlah karyawan dengan proses sosialisasi yang sangat singkat, yaitu sepekan sejak pengumuman PHK disampaikan.

Ironisnya, karyawan yang di-PHK hanya mendapatkan pemberitahuan melalui surat elektronik (email).

Menurut pantauan AJI Surabaya, awal Agustus 2020 lalu, sejumlah jurnalis dan pekerja media Jawa Pos juga "dipaksa" mengambil opsi pensiun dini.

Jika menolak, maka mereka akan di-PHK. Manajemen berdalih melakukan program resizing tersebut sebagai langkah efisiensi karena dampak pandemi terhadap bisnis perusahaan.

Ironisnya, para jurnalis dan pekerja media yang diberhentikan ternyata kemudian dipekerjakan kembali oleh PT Jawa Pos Koran sebagai karyawan berstatus kontrak dengan durasi kerja beragam atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).

Beberapa pengurus Serikat Pekerja Jawa Pos yang menolak pensiun dini akhirnya di-PHK pada pertengahan Agustus 2020 lalu.

Pada bulan yang sama, di Jakarta, para jurnalis dan pekerja media The Jakarta Post juga gundah.

Manajemen perusahaan mengumumkan akan ada PHK besar-besaran karena perusahaan kesulitan pembiayaan. Rencana tersebut sempat ditunda karena perusahaan berkomitmen mencari investor baru.

Namun demikian, hingga Oktober situasi tersebut masih menggantung tidak jelas, karyawan masih bertanya-tanya tentang nasib mereka ke depan.

Tanggal 12 Oktober 2020, dalam sebuah pertemuan besar dengan karyawan, manajemen mengumumkan belum ada investor baru yang masuk.

Pada kesempatan itu, manajemen kemudian menawarkan paket pengunduran diri secara sukarela dengan kompensasi 1 PMTK (Peraturan Menteri Tenaga Kerja), sebuah tawaran yang jauh dari ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan, yaitu 2 PMTK seperti diatur dalam pasal 156 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Tawaran PHK juga disampaikan Tempo kepada karyawannya. Berbeda dengan The Jakarta Post yang membuka komunikasi kepada seluruh karyawan, manajemen Tempo menyampaikan surat pemberitahuan PHK kepada belasan karyawan dengan dipanggil satu per satu. Menurut pengakuan beberapa karyawan yang dipanggil, kriteria pemanggilan tersebut tidak jelas.

Dalam pertemuan dengan karyawan yang akan di-PHK, manajemen Tempo menawarkan uang PHK sebesar 1,5 PMTK (*bukan 1,5 gaji pokok seperti yang beredar di media sosial).

Nilai ini masih di bawah ketentuan normatif UU Ketenagakerjaan sebesar 2 PMTK. Seperti di Jawa Pos, beberapa karyawan yang di-PHK ditawari untuk bekerja kembali di Tempo sebagai kontributor dengan status karyawan PKWT.

Menurut laporan yang masuk ke AJI, sejumlah perusahaan media besar di ibu kota juga menunda pembayaran gaji serta tunjangan hari raya (THR) karyawan serta memotong gaji karyawan karena krisis ekonomi akibat Pandemi Covid-19.

Penundaan dan pemotongan gaji serta THR masih terus berlangsung seiring belum tuntasnya penanganan pandemi Covid-19.

Dahsyatnya pukulan pandemi, kata dia, tentu dirasakan semua pihak.

Namun demikian krisis ini tidak bisa dijadikan alasan bagi perusahaan-perusahaan media untuk bertindak sewenang-wenang kepada karyawannya. Oleh karena itu, AJI menyampaikan beberapa butir pernyataan sikap:

1. Hentikan praktik-praktik penundaan gaji, pemotongan gaji, dan PHK sepihak.

2. Hentikan PHK yang tidak mengindahkan ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Karena Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja belum siap diterapkan saat ini, maka seluruh proses sengketa ketenagakerjaan tetap wajib menggunakan Undang-Undang Ketenagakerjaan.

3. Hentikan praktik-praktik efisiensi sepihak di perusahaan yang merugikan atau tidak menghargai martabat karyawan, seperti PHK yang ditindaklanjuti dengan mempekerjakan kembali karyawan dengan status PKWT.

4. Hentikan upaya-upaya pemberangusan serikat pekerja/perwakilan karyawan. Karyawan berhak berkumpul untuk memperjuangkan hak-hak mereka.

5. Di tengah pandemi, perusahaan media mesti membangun komunikasi dialogis dengan seluruh karyawan untuk mencari solusi-solusi terbaik bagi semua pihak.

6. Hargai karyawan sebagai aset berharga perusahaan. Sebesar apapun perusahaan tidak akan bergerak jika tidak ditopang oleh individu-individu karyawan sebagai "sel-sel"nya.