Hot Borneo

Agar Koalisi Penanggulangan AIDS Banjarmasin Tak Lagi Mati Suri

apahabar.com, BANJARMASIN – Dinas Kesehatan Kota Banjarmasin kabarnya bertekad menghidupkan kembali Koalisi Penanggulangan Aids (KPA).  Agar…

ILUSTRASI peserta aksi memegang poster saat mengikuti aksi peringatan Hari AIDS sedunia. Aksi guna mengajak masyarakat untuk lebih peduli terhadap penderita HIV/AIDS. Foto: Antara/Mohamad Hamzah

apahabar.com, BANJARMASIN – Dinas Kesehatan Kota Banjarmasin kabarnya bertekad menghidupkan kembali Koalisi Penanggulangan Aids (KPA). Agar tak lagi ‘mati suri’, aktivis dari Narasi Perempuan, Rizky Anggraini memberikan sejumlah catatan kritis.

Sekadar diketahui, KPA gabungan beberapa organisasi KPA Kalsel, OPSI Kalsel, ASA Borneo, IPPI, Iwatala, LKKNU, KP Borneo Plus, Narasi Perempuan, KDS Banjar Plus, LPM Lentera, PUSKDI KPSFK ULM, perwakilan WPA, hingga sejumlah mahasiswa UIN Antasari dan perwakilan transpuan di Banjarmasin.

KPA dinilai memiliki peran penting sebagai corong penghubung antara pemerintah dengan LSM yang bergerak di isu HIV/AIDS serta warga peduli AIDS (WPA).

“Ketiadaan KPA lantas memengaruhi koordinasi antara pemerintah dengan LSM yang bergerak di isu HIV/AIDS serta warga peduli AIDS (WPA),” kata Rizky Anggraini, Selasa (24/5).

Oleh sebab itu, sejak 2020 KPA Kalsel getol mendorong Pemerintah Kota Banjarmasin menambah anggaran penanggulangan HIV/AIDS. Berdasar Pasal 6 Peraturan Menteri dalam Negeri (Permendagri) Nomor 20 tahun 2007 tentang Pedoman Umum Pembentukan KPA dan Pemberdayaan Masyarakat dalam Rangka Penanggulangan HIV/AIDS di daerah, KPA di tingkat kabupaten/kota berfungsi sebagai badan koordinasi.

Fungsi utamanya menyusun rencana penanggulangan HIV/AIDS di wilayah kota/kabupaten, menyusun kebijakan dan strategi pengentasan HIV/AIDS di wilayah kabupaten/kota, memimpin dan mengelola upaya penanggulangan HIV/AIDS, penyebarluasan informasi mengenai HIV/AIDS, serta mendorong terbentuknya kelompok peduli HIV/AIDS hingga monitoring dan evaluasi program.

Pembentukan KPA juga dikuatkan dengan hadirnya Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 11/2012 tentang Pengendalian HIV/AIDS di Kota Banjarmasin Pasal 23 dan 24 yang mengamanatkan dibentuknya KPA oleh wali kota Banjarmasin dan ditetapkan melalui peraturan wali kota.

Desember lalu dalam kegiatan peluncuran video kampanye Koalisi Peduli HIV/AIDS Kalimantan Selatan, Ibnu Sina berkomitmen untuk memberikan aksi nyata menanggulangi HIV/AIDS di Banjarmasin. Salah satunya, dengan mengamanatkan pembangunan KPA pada 2022 serta penambahan anggaran pengentasan HIV/AIDS.

Komitmen itu belakangan kembali diperkuat oleh Kadinkes Kota Banjarmasin, M Ramadhan yang baru sebulan menjabat. Menurutnya, tongkat estafet harus diteruskan. Penanggulangan HIV/AIDS di Kota Seribu Sungai harus lebih menekankan pada metode promotif dan preventif.

“Jangan sampai lebih banyak kuratifnya," kata Rizky menirukan ucapan Kadinkes.

Ramadhan, kata Rizky, berjanji bakal segera melakukan rapat internal guna merumuskan struktur organisasi KPA Kota Banjarmasin demi tercapainya 3 zero; zero infeksi baru, zero kematian terkait AIDS, zero stigma dan diskriminasi terhadap ODHA/ODHIV guna menuju Indonesia bebas AIDS pada 2030.

“Kami berharap pemerintah dalam hal ini Dinkes sesegera mungkin merealisasikan janji pembentukan KPA kota Banjarmasin tersebut dan memaksimalkan anggaran dana yang sudah ditambahkan agar dipergunakan untuk penanggulangan HIV/AIDS di kota Banjarmasin,” ujarnya.

Banjarmasin, menurut Rizky, merupakan kota dengan angka HIV/AIDS yang cukup tinggi. Lantaran KPA ‘mati suri’, sosialisasi untuk menjangkau para penyintas ODHA/ODHIV hanya bisa dilakukan oleh LSM maupun lembaga non-pemerintahan lainnya.

Sedang LSM dan lembaga-lembaga tersebut untuk melakukan aktivitasnya hanya bergantung pada pendonor dari luar negeri seperti Global Fund. Karena Indonesia sudah dikategorikan sebagai negara maju, belakangan donor dari luar negeri itu perlahan-lahan mulai disetop.

Oleh karenanya, untuk terus menjalankan fungsi-fungsinya, sejak akhir 2020 Koalisi HIV/AIDS yang berisi organisasi, lembaga dan akademisi peduli HIV/AIDS kemudian melakukan advokasi anggaran agar ada penambahan termasuk juga pengaktifan kembali KPA yang sempat vakum akibat ketiadaan dana.

Jumlah kasus HIV/AIDS di Kalsel sendiri, kata Rizky, mencapai 3.360 kasus sepanjang 2021 lalu. Dari data itu, Banjarmasin menjadi penyumbang terbanyak. Patut disayangkan, rata-rata ODHIV/ODHA didominasi usia produktif kisaran 20-30 tahun.

“Kalau dibilang tidak ada perhatian dari pemerintah tuh tidak tepat juga sih karena perhatian ada tapi juga pas [pandemi] Covid ‘kan anggaran kesehatan banyak dialihkan ke pandemi lalu perhatian pada isu HIV/AIDS ini semakin berkurang,” ujarnya.