Religi

Abdullah bin Umar RA, Kokoh Berdiri di Garis Tengah

apahabar.com, MADINAH – Sayidina Abdullah adalah seorang ipar Rasulullah SAW sekaligus anak Khalifah Umar bin Khattab…

ilustrasisumber: net

apahabar.com, MADINAH – Sayidina Abdullah adalah seorang ipar Rasulullah SAW sekaligus anak Khalifah Umar bin Khattab RA. Sebagai kerabat dua pemimpin Islam itu, dia tak sedikit pun menginginkan jabatan, bahkan ketika dipaksa. Dia selalu memposisikan diri di garis tengah, dan tak goyah hingga akhir hayatnya.

Sayidina Hasan RA meriwayatkan, tatkala Utsman bin Affan RA terbunuh, sekelompok umat Islam memaksanya menjadi khalifah. Mereka berteriak di depan rumah Ibnu Umar, “Anda adalah seorang pemimpin, keluarlah agar kami minta orang-orang berbaiat kepada anda!”

Ibnu Umar menyahut, “Demi Allah, seandainya bisa, janganlah ada darah walau setetes pun tertumpah disebabkan aku.”
Massa di luar mengancam, “Anda harus keluar, atau kalau tidak, kami bunuh di tempat tidurmu!”

Diancam begitu Ibnu Umar tak tergerak. Massa pun bubar. Sampai suatu ketika, datang lagi ke sekian kali tawaran menjadi khalifah. Ibnu Umar mengajukan syarat, yakni asal ia dipilih oleh seluruh kaum Muslimin tanpa paksaan.

Jika baiat dipaksakan sebagian orang atas sebagian yang lainnya di bawah ancaman pedang, ia akan menolak. Saat itu, sudah pasti syarat ini takkan terpenuhi. Mereka sudah terpecah menjadi beberapa kelompok, bahkan saling mengangkat senjata.

Ada yang kesal lantas menghardik Ibnu Umar, “Tak seorang pun lebih buruk perlakuannya terhadap manusia kecuali kamu.”

“Kenapa? Demi Allah, aku tidak pernah menumpahkan darah mereka tidak pula berpisah dengan jamaah mereka, apalagi memecah persatuan mereka?” jawab Ibnu Umar heran. “Seandainya kau mau menjadi khalifah, tak seorang pun akan menentang. Aku tak suka kalau dalam hal ini seorang mengatakan setuju, sedang yang lain tidak.”

Ketika Muawiyah II, putra Yazid bin Muawiyah, menduduki jabatan khalifah, datang Marwan menemui Ibnu Umar. Ulurkan tanganmu agar kami berbaiat. Anda adalah pemimpin Islam dan putra dari pemimpinnya. Lantas apa yang kita lakukan terhadap orang-orang bagian timur? Kita gempur mereka sampai mau berbaiat.

“Demi Allah, aku tidak sudi dalam umurku yang 70 tahun ini, ada seorang manusia yang terbunuh disebabkan olehku,” kata Ibnu Umar.

Penolakan Ibnu Umar ini karena ia ingin netral di tengah kekalutan para pengikut Ali dan Muawiyah. Sikap itu diungkapkannya dengan pernyataan: Siapa yang berkata, ‘marilah salat’, akan kupenuhi. Siapa yang berkata ‘marilah menuju kebahagiaan’ akan kuturuti pula. Tetapi siapa yang mengatakan ‘marilah membunuh saudara kita seagama dan merampas hartanya’, maka saya katakan, tidak!

Berkatalah Abul ‘Aliyah al Barra: Pada suatu hari saya berjalan di belakang Ibnu Umar tanpa diketahuinya. Maka saya dengar ia berbicara kepada dirinya: ‘Mereka letakkan pedang-pedang mereka di atas pundak-pundak lainnya, mereka berbunuhan lalu berkata: Hai Abdullah bin Umar ikut lah dan berikan bantuan. Sungguh sangat menyedihkan.

la amat menyesal dan duka melihat darah Kaum Muslimin tertumpah oleh sesamanya. Dan sekiranya ia mampu menghentikan peperangan dan menjaga darah tertumpah pastilah akan dilakukannya, tetapi ternyata tidak mengizinkan, oleh sebab itu dijauhinya. Sebetulnya hati kecilnya berpihak ke pada Ali.

Penolakannya berperang di pihak Ali yang sebenarnya mempertahankan haq dan berada di pihak yang benar, dilakukan nya bukan dengan maksud hendak lari atau menyelamatkan diri.

Namun, adalah karena tidak setuju dengan semua perselisihan dan fitnah. Serta menghindari peperangan yang terjadi. Hal itu dijelaskannya dengan gamblang ketika ia ditanyai oleh Nafi’: Hai Abu Abdurrahman, anda adalah putera Umar dan sahabat Rasulullah SAW. Tetapi apa yang menghalangi anda bertindak? mak sudnya membela Ali.

Maka ujarnya: Sebabnya ialah kare na Allah Ta’ala telah mengharamkan atasku menumpahkan darah Muslim. Perangilah mereka itu hingga tak ada lagi fitnah dan hingga orang-orang beragama itu semata ikhlas karena Allah. (QS 2 al-Baqarah: 193). Nah, kita telah melakukan itu dan memerangi orang-orang musyrik, hingga agama itu semata bagi Allah, tetapi sekarang apa tujuan kita berperang.

Saya telah mulai berperang semenjak berhala-berhala masih memenuhi Masjid al-Haram dari pintu sampai ke sudut-sudutnya, hingga akhirnya semua itu dibasmi Allah dari bumi Arab, sekarang apakah saya akan memerangi orang yang mengucapkan “Laa Ilaaha Illallaah”, tiada Tuhan yang haq diibadahi melainkan Allah?

Editor: Muhammad Bulkini