Kalsel

“My Darling” Tuding Banjir Bajuin-Pelaihari Kalsel Ulah Cukong

apahabar.com, PELAIHARI – Bencana ekologis yang memorak-porandakan Kecamatan Bajuin dan Pelaihari ditengarai tidak hanya terjadi karena…

Banjir merendam puluhan rumah di Bumi Harapan, Tanah Laut. Foto-apahabar.com/Ali Chandra

apahabar.com, PELAIHARI – Bencana ekologis yang memorak-porandakan Kecamatan Bajuin dan Pelaihari ditengarai tidak hanya terjadi karena cuaca ekstrem.

Namun, sebagai dampak kerusakan lingkungan serta aktivitas penambangan dan perkebunan sawit di wilayah tersebut.

Sebagai pengingat, Kecamatan Bajuin adalah wilayah hutan lindung dan hulu aliran sungai dari pegunungan Meratus.

“Namun sekarang daerah aliran sungai itu telah tertutup akibat aktivitas tambang dan perkebunan sawit,” ujar Ketua Masyarakat Peduli Lingkungan Kalimantan Selatan atau My Darling Kalsel, Khaidir kepad apahabar.com, Rabu (20/1).

Aktivis menuding banjir di Tanah Laut salah satunya dipicu oleh aktivitas ilegal logging. Foto: Ist

“Dulu itu pohon-pohon besar-besar ada di pegunungan desa Tanjung Bajuin, Pemalongan, Sungai Bakar, Tebing siring habis dibabat. Padahal sejati itu adalah resapan air yang mesti dijaga.

Dampaknya sekarang banjir di mana-mana. Warga pun jadi korban. “Dan kita jadi rugi besar. Daerah kita jadi hancur karena ulah cukong, yang tidak bertanggung jawab,” kata Khaidir.

Kabupaten Tanah Laut, belum pernah banjir separah ini. Dirinya melihat intensitas hujan juga tidak begitu tinggi.

“Namun terjadi banjir besar,” ujarnya.

Salah satu contohnya Kecamatan Pelaihari dan Bajuin. Banjir sudah dua kali memorak-porandakan permukiman warga.

“Sekarang ini banjir di Kabupaten Tanah Laut, semakin meluas bahkan berlangsung lama dan hampir menenggelamkan daerah kita,” ujar pria kelahiran Tanjung Bajuin ini.

Tak sedikit kerugian yang didera warga. Mulai dari puluhan ribu penduduk yang mengungsi. Nyawa melayang, infrastruktur jalan dan jembatan hancur, pertanian gagal hingga sejumlah ternak warga mati.

Berkaca dari peristiwa ini dirinya meminta pemerintah memberikan sanksi kepada cukong, perusak lingkungan dan mengkaji kembali izin-izin mereka.

“Yang kami duga mereka itu merusak lereng gunung pemalongan (Gunung Pateien), Riam Pinang Desa Tanjung, Sungai Bakar dan Tebing Siring,” ujarnya.

“Sebab kalau tidak, bukan tidak mungkin banjir yang lebih besar akan datang,” katanya lagi.

“Jangan terjadi pembiaran bagi pelaku penambang emas, biji besi dan perkebunan bekerja sesuka hati tanpa memperhatikan dampak lingkungan. Kami mengutuk keras dan tentunya kita tidak akan tinggal diam,” tandasnya.

Setop Izin

Luas wilayah Kalsel 3,7 hektare. Catatan Jaringan Advokasi Tambang atau Jatam, 33 persen dari itu, setara 1,2 juta hektare, dikuasai pertambangan batu bara, dengan total perizinan mencapai 553 IUP Non-CnC (Izin Usaha Pertambangan non-Clean and Clear) dan 236 IUP CnC (Clean and Clear). Sementara luas perkebunan sawit mencapai 618 ribu hektare atau setara 17 persen luas wilayah.

IUP CnC sendiri merupakan IUP yang memenuhi persyaratan administratif dan kewilayahan, sementara Non-CnC sebaliknya.

Koordinator Jatam Nasional Merah Johansyah, seperti dilansir Tirto.id, menilai komitmen pemerintah mengantisipasi bencana nihil.

"Tidak ada itu. Rakyat sudah jatuh tertimpa tangga, kena pandemi dan banjir," ujarnya.

Sementara, Wahana Lingkungan Hidup mencatat sebanyak 234 ribu hektare atau 15 persen dari luas Kalsel sudah berisi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK-HA) dan 567 ribu hektare atau 6 persen berisi izin IUPHHK Hutan Tanaman.

Walhi Kalsel sudah berulang kali mengingatkan pemerintah bahwa Kalsel telah darurat ruang, dan bencana ekologis.

“Sudah kita sering ingatkan, termasuk dari tahun lalu,” ujar Kisworo kepada apahabar.com.

Senada dengan Jatam, Walhi meminta pemerintah menghentikan pemberian izin tambang, dan perkebunan sawit.

“Pemerintah jangan hanya menyalahkan hujan saja, panggil perusahaan-perusahaan tambang yang bermasalah,” ujar Kisworo.

Hasil analisis perubahan penutup lahan di DAS Barito Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), masih dari Tirto.id, menyimpulkan hutan primer, hutan sekunder, sawah, dan semak belukar menyempit dalam kurun waktu 2010-2020.

"Masing-masing menurun sebesar 13 ribu hektare, 116 ribu hektare, 146 ribu hektare dan 47 ribu hektare," ujar Kepala Lapan Thomas Djamaluddin.

Berbanding terbalik dengan itu, perkebunan meluas signifikan sebesar 219 ribu hektare. Menurutnya, perubahan penutup lahan ini memberikan gambaran kemungkinan terjadinya banjir di DAS Barito.

"[Gambaran ini] dapat digunakan sebagai salah satu masukan untuk mendukung upaya mitigasi bencana banjir di kemudian hari," imbuhnya.

Sebagai pengingat, hingga Selasa kemarin (19/1), banjir yang melanda Kalimantan Selatan berdampak pada 349.070 warganya.

Bahkan, sebanyak 77.890 warga di 11 dari 13 kabupaten atau kota terpaksa mengungsi.

Masih dari catatan BPBD Kalsel, banjir merusak 62.638 rumah, 14 jembatan, 58 rumah ibadah, 48 sekolah dan lebih dari 68 jalan.

Sampai hari ini, bencana ekologis tersebut sudah menelan 15 korban jiwa. Mereka berasal dari Tanah Laut 7 orang, masing-masing 3 orang dari Banjar, dan HST, serta 1 orang masing-masing dari Banjarbaru, dan Tapin.

Bantah Tambang

Hasil analisis pemerintah, penyebab utama banjir parah yang terjadi belakangan ini bukan dampak dari aktivitas tambang.

Plt Sekretaris Daerah Provinsi Kalsel, Roy Rizali Anwar, bilang terjadinya banjir persoalan anomali cuaca dan curah hujan tinggi pada daerah aliran sungai (DAS) Barito.

“Perizinan kebun belum terlihat sebagai faktor utama. Perizinan tambang juga,” beber Roy dalam rapat terbatas bersama awak media di Ruang Aberani Sulaiman Kantor Setdaprov Kalsel, kemarin.

Perizinan tambang secara luas hanya 37 ribu hektare dari area izin 55 ribu hektare sejak 2008. Analisis pada wilayah tambang ini termasuk oleh masyarakat seluas 104 ribu hektare.

“Tentang ini, UU Ciptakerja sudah mengaturnya pada pasal 105. Pemerintah akan mengambil langkah-langah ke depan. RPP sudah disusun dalam konsultasi publik,” terang Roy.