Sejarah Bangsa

7 Jenderal yang Meregang Nyawa saat Peristiwa G30S PKI

Kala peristiwa itu terjadi, azan subuh baru berkumandang. Fajar pun masih di peraduan. Kendati demikian, kekhawatiran Ahmad Yani terhadap Presiden Soekarno.

7 Jenderal yang menjadi pahlawan revolusi (Foto: Kumparan)

apahabar.com, JAKARTA – "Bagaimana Bapak?" Itulah dua patah kata yang keluar dari mulut Jenderal Ahmad Yani, tak berselang lama usai dirinya diberondong peluru oleh segerombolan pasukan Cakrabirawa.

Kala peristiwa itu terjadi, azan subuh baru berkumandang. Fajar pun masih lelap di peraduan. Kendati demikian, kekhawatiran Ahmad Yani terhadap Presiden Soekarno di masa-masanya menemui ajal, terpatri jelas dalam ingatan sang istri, Yayu Ruliah Subadinah.

Dalam buku Ahmad Yani: Sebuah Kenang-kenangan (1981), Yayu merawikan betapa brutalnya pasukan Cakrabirawa menggeruduk pekarangan rumah sang jenderal di tengah pagi buta, lalu menghabisi nyawanya tanpa ampun.

Jenderal Ahmad Yani hanyalah satu di antara sekian perwira yang menjadi incaran Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S PKI). Sejarah mencatat, total terdapat tujuh nama anggota TNI-AD yang menjadi korban atas kejadian ini.

Pasukan Cakrabirawa menyeret semua perwira itu, baik dalam kondisi hidup ataupun mati, ke Lubang Buaya, Cililitan, Jakarta Timur. Sebagian besar dari mereka adalah perwira yang punya pengaruh kuat di masa pemerintahan Presiden Soekarno.

Merangkum berbagai sumber, inilah sekilas profil korban keganasan peristiwa G30S PKI yang telah ditetapkan menjadi Pahlawan Revolusi.

Letjen TNI Ahmad Yani

Jenderal Ahmad Yani merupakan salah satu korban G30S PKI. Dirinya memangku jabatan sangat penting kala itu, yakni sebagai Menteri/Panglima AD/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi.

Sebelum dihabisi oleh antek-antek PKI, pria kelahiran 19 Juni 1922 itu pernah terlibat dalam penumpasan pemberontakan PKI Muso di Madiun pada 1948. Ironisnya, dia merupakan sosok yang mendirikan pasukan Batalyon 454 Cakrabirawa, yang justru menculiknya pada peristiwa kelam 1965.

Ahmad Yani sendiri memang sudah malang melintang dalam dunia militer. Misalnya saja, ketika Jepang menduduki Indonesia, dia mengikuti pendidikan Heiho di Magelang, serta tentara pada Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor.

Letjen Anumerta Raden Suprapto

Korban G30S PKI lainnya adalah Letjen Anumerta Raden Suprapto. Dirinya menduduki jabatan yang tak kalah penting, yakni sebagai Deputi II Menteri/Panglima AD Bidang Administrasi.

Pria kelahiran 20 Juni 1920 ini juga sudah malang melintang di dunia militer. Dia mengikuti pendidikan militer di Akademi Militer Kerajaan di Bandung, namun terputus lantaran Jepang mendarat di Indonesia.

Pun pada masa pendudukan Jepang, Suprapto menekuni kursus di pusat latihan pemuda. Keaktifannya dalam dunia militer terus berlanjut hingga masa awal kemerdekaan, di mana aktif merebut senjata pasukan Jepang di Cilacap.

Kemudian, bergabung dengan TKR di Purwokerto dan ikut dalam pertempuran di Ambarawa sebagai ajudan Panglima Besar Sudirman.

Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono

Lebih dikenal dengan sebutan MT Haryono, pria kelahiran 20 Januari 1924 ini tak langsung terjun ke dunia militer. Sebelumnya, dia sempat belajar di Ika Dai Gaku atau Sekolah Kedokteran di Jakarta.

MT Haryono juga pernah menjadi delegasi Indonesia untuk mengikuti berbagai perundingan dengan Belanda ataupun Inggris. Hal ini dikarenakan dirinya fasih berbahasa Belanda, Inggris, dan Jerman.

Selepas itu, dia menjabat sebagai sekretaris delegasi RI dan Sekretaris Dewan Pertahanan Negara. Saat Konferensi Meja Bundar, MT Haryono pun menjadi sekretaris delegasi militer Indonesia.

Letjen Anumerta Siswondo Parman

Lebih dikenal dengan nama S. Parman, perwira kelahiran 4 Agustus 1918 itu pernah bekerja pada Jawatan Kenpeitai. Dirinya bahkan sempat dikirim ke Jepang guna memperdalam ilmu intelijen di Kenpei Kasya Butai.

S. Parman juga pernah ditugaskan untuk belajar di Military Police School, Amerika Serikat, pada 1951. Delapan tahun kemudian, dia diangkat menjadi Atase Militer RI di London.

Selang lima tahun kemudian, S. Parman diserahi tugas Asisten 1 Menteri/Panglima AD dengan pangkat Major Jenderal. Sebagai perwira AD, dia juga paham betul seluk beluk pemberontakan PKI untuk membentuk angkatan kelimanya.

Mayjen Anumerta Donald Ignatius Panjaitan

DI Panjaitan memulai karier militernya dengan menekuni pendidikan di Gyugun, kemudian ditempatkan di Pekanbaru sampai Proklamasi Kemerdekaan berkumandang. Perwira TNI kelahiran 9 Juni 1925 ini ikut membentuk TKR, lalu diangkat sebagai Komandan Batalyon.

DI Panjaitan juga sempat menjabat sebagai Asisten IV Menteri/Panglima AD Bidang Logistik. Dia pun mendapat penugasan untuk belajar di Amerika Serikat.

Mayjen Anumerta Sutoyo Siswomiharjo

Sebelum menjadi perwira, pria kelahiran 28 Agustus 1922 ini sempat menjadi pegawai negeri di Kantor Kabupaten Purworejo. Untuk mendukung kariernya itu, dia mengenyam pendidikan di Balai Pendidikan Pegawai Tinggi di Jakarta.

Barulah selepas Indonesia merdeka, Sutoyo bergabung dengan TKR bagian kepolisian. Lalu, dia menjadi anggota Corps Polisi Militer (CPM).

Sutoyo lantas diangkat sebagai ajudan Kolonel Gatot Subroto, kemudian dipilih sebagai Kepala Bagian Organisasi Resimen II Polisi Tentara di Purworejo. Selanjutnya, dia berkarir di CPM di Yogyakarta hingga Surakarta.

Kapten Anumerta Pierre Andreas Tendean

Berbeda dengan enam jenderal sebelumnya, Pierre Tendean tak memangku jabatan penting. Dia merupakan ajudan Jenderal A.H. Nasution ”“ yang sebenarnya ditargetkan antek PKI, namun berhasil melarikan diri.

Pria kelahiran 21 Februari 1939 itu merupakan lulusan Akademi Militer Jurusan Teknik. Dia kemudian menjabat Komandan Peleton Batalyon Zeni Tempur 2 Komando Daerah Militer II/Bukit Barisan di Medan.

Itulah tujuh perwira TNI-AD yang menjadi korban G30S PKI. Mereka menjadi saksi bisu atas kejamnya upaya kudeta yang dicanangkan antek-antek PKI.