6 Oktober Jadi Hari Cerebral Palsy, Apa Itu?

Sejak satu dekade lalu, dunia memperingati Hari Celebral Palsy setiap 6 Oktober. Gangguan pada gerakan otot atau postur tubuh ini rentan dialami anak-anak.

6 Oktober Jadi Hari Cerebral Palsy (Foto: dok. Merryland)

apahabar.com, JAKARTA - Sejak satu dekade lalu, dunia memperingati Hari Celebral Palsy setiap 6 Oktober. Tujuannya, memastikan masa depan pengidap gangguan ini supaya tetap memiliki hak, akses, dan peluang yang sama seperti orang normal.

Cerebral palsy sendiri adalah gangguan pada gerakan otot atau postur tubuh yang diakibatkan kelainan perkembangan otak. Kelainan fisik ini umumnya lebih rentan menjangkiti anak-anak.

Data yang dihimpun worldcp.day.org mengungkapkan bahwa setidaknya terdapat lebih dari 17 juta orang di seluruh dunia yang menderita cerebral palsy. Sementara, 350 juta orang lainnya berhubungan erat dengan anak atau orang dewasa dengan cerebral palsy.

Lantas, sebenarnya apa itu celebral palsy? Bagaimana pula gejala dini yang menyerang buah hati? Bisakah gangguan ini disembuhkan? Untuk mengetahuinya lebih lanjut, simak pembahasan berikut yang dirangkum dari berbagai sumber.

Apa Itu Cerebral Palsy?

Melansir laman Kementerian Kesehatan RI, cerebral palsy merupakan suatu kondisi yang mempengaruhi perkembangan kontrol otot, gerak, dan postur. Ini terjadi karena adanya kerusakan otak pada bagian yang mengontrol gerakan.

Akibatnya, pengidap cerebral palsy bakal mengalami disabilitas permanen, seperti kelemahan otot dan kekakuan.

Mereka juga berpotensi mengalami keterbatasan untuk beraktivitas, antara lain sulit berkomunikasi, mengalami gangguan mobilitas, dan sebagainya.

Lantaran kondisinya demikian, para pengidap gangguan ini membutuhkan rehabilitasi jangka panjang. Program rehabilitasi itu umumnya berupa pengaturan posisi pada 24 jam setiap aktivitas. 

Penyebab dan Gejala Dini Cerebral Palsy pada Anak

Prostetis dan ortotis dari Rehabilitasi Medis Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI), Fakhri Rekha Utama, menjelaskan salah satu gejala cerebral palsy pada bayi adalah nampak terkulai lemas. Bayi biasanya juga sama sekali tak menangis ketika baru lahir.

Gejala yang demikian, sambung Fakhri, dikarenakan otot tak mampu menangkap sinyal dari otak. Sehingga, bayi tersebut tak memberikan respons berupa gerakan (motorik).

Adapun faktor risiko atau penyebab cerebral palsy bisa disebabkan adanya masalah saat prenatal (sebelum kelahiran), natal (kelahiran), dan postnatal (setelah kelahiran).

"Saat prenatal, kebanyakan kasusnya karena kekurangan gizi si orang tua atau pernah terbentur, trauma, kecelakaan, padahal otak bayi di dalam kandungan sudah mulai berkembang," jelas Fakhri, seperti dikutip dari Antara.

Sementara saat natal, bisa jadi karena bayi terlilit tali pusar, sehingga dia kekurangan oksigen di otaknya.

Kalau postnatal, bisa jadi si buah hati lahir normal, namun tiba-tiba mengalami demam tinggi sampai 40 derajat celsius.

“Ini (demam tinggi) bahaya sekali bagi bayi. Panas dengan tinggi segitu sampai kejang-kejang, itu akan merusak sel-sel otak dan memengaruhi ke bagian otot-otot tubuhnya,” beber Fakhri.

Untuk itu, dia menyarankan, bila bayi menunjukkan gejala berupa tubuh lemas, tidak bergerak, tidak menangis, demam, atau kejang, segera periksakan ke dokter. 

Apakah Pengidap Cerebral Palsy Bisa Sembuh?

Sayangnya, menurut Fakhri, anak yang menderita cerebral palsy tidak akan pernah kembali normal seperti anak-anak pada umumnya.

Namun, jika kondisi tersebut terdeteksi sejak dini dan langsung diberikan terapi, maka akan mencegah kecacatan yang lebih parah.

Adapun tingkat kesembuhan pengidap cerebral palsy bisa diukur dari caranya berdiri sendiri menggunakan alat bantu.

Hal ini sebagaimana diungkapkan dosen prostetik dan ortotik dari Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan, Feryanda Utami.

“Orang tua harus ekstra sabar dan disiplin, serta paham bahwa sembuhnya anak dengan cerebral palsy itu berarti dia bisa berdiri sendiri dengan alat bantunya, bisa belajar melangkah. Dia enggak pakai kursi roda aja udah bagus,” pesan Feryanda.