Nasional

6 Laskar FPI yang Tewas Jadi Tersangka, Warganet: Efek Nonton Boboho

apahabar.com, JAKARTA – Dianggap kurang populer, warganet mempertanyakan keputusan Bareskrim Mabes Polri yang menetapkan 6 laskar…

Sejumlah anggota Bareskrim Polri merekonstruksi kasus penembakan enam anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) di Karawang, Jawa Barat. Foto: Republika

apahabar.com, JAKARTA – Dianggap kurang populer, warganet mempertanyakan keputusan Bareskrim Mabes Polri yang menetapkan 6 laskar Front Pembela Islam (FPI) sebagai tersangka.

Seperti dilansir CNN Indonesia, enam laskar FPI itu sebenarnya sudah meninggal dalam bentrok dengan polisi di Jalan Tol Jakarta-Cikampek yang terjadi 7 Desember 2020.

Dua orang tewas dalam baku tembak. Sedangkan empat orang lain yang masih hidup, kemudian tewas dalam penguasaan polisi.

Lantas beberapa bulan setelah insiden itu, Bareskrim Polri menetapkan mereka sebagai tersangka lantaran diduga menyerang anggota kepolisian.

“Sudah ditetapkan tersangka. Tentunya harus diuji dulu, sehingga kami kirim (berkas perkara) kepada jaksa agar diteliti,” jelas Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtidum) Bareskrim Polri, Brigjen Andi Rian Djajadi, Rabu (3/3).

Sontak keputusan Bareskrim membuat sejumlah warganet heran. Terlebih 6 laskar FPI yang ditetapkan sebagai tersangka itu sudah tewas.

“Kalo sudah jadi mayat terus tiba-tiba distatuskan tersangka, bagaimana itu menurut ahli hukum ???. Ini sekedar tanya lo yaa ada tanda tanya pulak tuh,” tulis pemilik akun Twitter @Stevaniehuangg.

Sementara akun @graham_associat menyebut penegakan hukum seperti disebabkan efek terlalu banyak menonton film Boboho.

Film dimaksud berjudul Shaolin Popeye 3. Dalam salah satu scene, Boboho memukuli vampire atau zombie versi China.

“Saat mayat jadi tersangka…Maka inilah penegak hukumnya, efek kebanyakan nonton Boboho,” tulis @graham_associat.

Sementara ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai penetapan itu bertentangan dengan Pasal 77 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Dalam Pasal 77 itu disebutkan kewenangan menuntut pidana gugur, kalau tertuduh meninggal dunia.

“Bertentangan dengan KUHP, karena kematian menjadi alasan pembatalan penetapan orang sebagai pelaku kejahatan atau pelaku pelanggaran hukum,” tukas Fickar kepada CNNIndonesia.Kamis (4/3).

“Intinya penuntutan harus mengenai orang. Menetapkan mayat itu artinya apa? Lucu, berlebihan dan mengelak,” tegasnya.

Fickar menyarankan seharusnya Bareskrim melanjutkan hasil rekomendasi Komnas HAM untuk mengusut anggota polisi yang menyebabkan kematian enam laskar tersebut.

“Kalau yang sudah meninggal, tidak ada manfaat dari penetapan sebagai tersangka. Ngaco dasar hukum dan berlebihan,” tandas Fickar.