PLTS Terapung Cirata

3 Catatan IESR Usai Jokowi Resmikan PLTS Cirata

Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai pengoperasian PLTS Terapung Cirata menjadi tonggak akselerasi pengembangan pembangkit listrik tenaga sury

Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung atau Floating Solar PV Cirata berkapasitas 192 megawatt peak (MWp) seluas 200 hektare. PLTS ini dibangun di atas Waduk Cirata dan menjadi yang terbesar di Asia Tenggara. Foto: Dok. PLN

apahabar.com, JAKARTA - Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung Cirata menjadi tonggak akselerasi pengembangan pembangkit listrik tenaga surya berskala besar di Indonesia yang mati suri sejak 2020.

Kondisi tersebut terlihat dengan semakin menurunnya biaya investasi PLTS yang menjadikannya sebagai pembangkit energi terbarukan termurah saat ini.

"Indonesia harus mengoptimalkan potensi teknis PLTS yang mencapai 3,7 TWp sampai dengan 20 TWp untuk mendukung tercapainya target puncak emisi sektor kelistrikan di 2030, dengan biaya termurah," kata Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa melalui keterangan resmi, Kamis (9/11).

Baca Juga: PLTS Cirata Diresmikan, Jokowi: Investor EBT Mulai Mengantre Masuk

Karena itu, Fabby memberikan sejumlah catatan seusai Presiden Joko Widodo meresmikan PLTS Terapung Cirata. Pertama, pemerintah bersama PLN perlu memanfaatkan potensi teknis PLTS terapung yang mencapai 28,4 GW dari 783 lokasi badan air di Indonesia untuk mengakselerasi pemanfaatan PLTS.

Berdasarkan data Kementerian ESDM potensi PLTS terapung skala besar dapat dikembangkan setidaknya di 27 lokasi badan air yang memiliki Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).

Dari total titik tersebut setidaknya memiliki potensi mencapai 4,8 GW dan setara dengan investasi sebesar US$ 3,84 miliar (Rp55,15 triliun).

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa. Foto: Dok. IESR

Dengan memanfaatkan potensi PLTS terapung tersebut akan dapat mempercepat pencapaian target bauran energi baru terbarukan (EBT) dan meraih target net zero emission (NZE) lebih cepat dari tahun 2060.

Kedua, pemerintah dan PLN harus mengoptimalkan potensi PLTS terapung dengan menciptakan kerangka regulasi yang menarik minat pelaku usaha untuk berinvestasi. Salah satunya, dengan memberikan tingkat pengembalian investasi sesuai profil risiko tetapi menarik dan mengurangi beban tambahan dalam mengelola investasi.

Adapun yang ketiga, pemerintah perlu memperhatikan skema penugasan PLN kepada anak perusahaannya yang selama ini menjadi opsi prioritas pengembangan PLTS terapung.

Baca Juga: Jokowi Bertolak ke Purwakarta untuk Resmikan PLTS Terapung Cirata

Melalui skema tersebut, kata Fabby, anak perusahaan mencari pihak yang bersedia yang bersedia berinvestasi untuk kepemilikan minoritas. Meski begitu, pihak tersebut perlu menanggung porsi equity yang lebih besar melalui pinjaman pemegang saham (shareholder loan).

"Skema ini menguntungkan PLN, tetapi memangkas pengembalian investasi bagi investor dan beresiko pada bankability proyek dan minat pemberi pinjaman," ujar Fabby.

Skema tersebut menurutnya dapat menciptakan persaingan usaha yang tidak sehat di antara pelaku usaha. Sebab, hanya mereka yang punya ekuitas besar saja yang bisa bermitra dengan PLN dan mayoritas investor asing.

Baca Juga: PLTSa Solo Selesai Dibangun, Ubah Sampah jadi Energi Listrik

Solusinya, kata Fabby, membutuhkan dukungan pemerintah dengan cara memperkuat permodalan PLN dan anak usaha perusahaannya melalui penyertaan modal negara (PMN) khusus untuk pengembangan energi baru terbarukan.

"Termasuk memberikan pinjaman konsesi kepada PLN melalui PT SMI yang kemudian dapat dikonversi sebagai kepemilikan saham pada proyek PLTS terapung," pungkasnya.