Transisi Energi

100 Hari JETP Diluncurkan, Komitmen Transisi Energi Indonesia Masih Lemah

Sejak 100 hari skema Just Energy Transition Partnership (JETP) diluncurkan di KTT G20, belum terlihat komitmen pemerintah melakukan transisi energi.

Ilustrasi - Energi hijau. (cc)

apahabar.com, JAKARTA - Sejak 100 hari skema pendanaan transisi energi JETP (Just Energy Transition Partnership) diluncurkan di sela-sela KTT G20, belum terlihat komitmen kuat pemerintah untuk melakukan transisi energi.

Indonesia Team Lead 350 Indonesia Firdaus Cahyadi menilai keseriusan pemerintah belum terlihat. "Beberapa kebijakan pemerintah justru menunjukan masih setengah hati melakukan transisi energi ke 100% energi terbarukan," ujarnya kepada apahabar.com di Jakarta (26/1).

Lemahnya komitmen pemerintah untuk transisi energi itu, lanjut Firdaus, nampak dari ketidakkonsistenannya dalam upaya pensiun dini PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) Batu Bara.

"Di satu sisi, pemerintah berencana melakukan pensiun dini PLTU, namun di sisi lainnya justru akan membangun PLTU baru lagi," jelasnya.

Baca Juga: Dipastikan Tidak Ada yang Tertinggal dalam Transisi Energi

Sementara itu, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik justru menunjukkan hal sebaliknya.

"Pemerintah masih membuka ruang bahkan memberikan kepastian dan perlindungan bagi rencana pembangunan PLTU baru agar dapat dibangun sampai tahun 2030," terang Firdaus.

Bukan hanya itu, hingga 100 hari peluncuran JETP, pemerintah juga belum terbuka dalam informasi terkait detail proyek-proyek transisi energi yang dibiayai oleh skema JETP.

"Sebagian pendanaan transisi energi dalam skema JETP ini menggunakan pembiayaan dari utang luar negeri. Itu artinya, publik sebagai pembayar pajak perlu mengetahui proyek transisi energi apa saja yang dibiayai dengan utang luar negeri," tegasnya.

Baca Juga: Menteri ESDM Bertemu CEO Hitachi Energy, Jelaskan Transisi Energi Indonesia

Pemerintah sejauh ini, menurut Firdaus, belum membuka informasi tentang proyek transisi energi apa saja yang dibiayai oleh utang luar negeri. Hal itu berujung pada buruknya keterlibatan publik dalam pengambilan keputusan terkait JETP.

"Persoalan energi adalah persoalan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, ironis bila persoalan yang menyangkut hajat hidup orang banyak justru ditentukan oleh segelintir elite," ujar Firdaus.

Dia menambahkan, "Keterbukaan informasi dan keterlibatan publik adalah titik lemah JETP."

100 hari JETP ini, menurut Firdaus seharusnya menjadi momentum bagi pemerintah untuk berbenah diri. Untuk itu pemerintah harus menunjukkan keseriusannya dan jangan bertindak setengah hati dalam melakukan transisi energi.

Baca Juga: Indonesia Percepat Transisi Energi demi Net Zero Emission 2060

"Jika transisi energi ini gagal, publik sebagai pembayar pajak hanya akan menanggung beban utang luar negeri yang dihasilkan oleh skema JETP," pungkasnya.

Just Energy Transition Partnership (JETP)

Sejarah Just Energy Transition Partnership (JETP) dimulai pada KTT COP 26 oleh Afrika Selatan dan International Partners Group (IPG). JETP dinilai sebagai sebuah momen penting dalam upaya mendorong transisi energi berkeadilan.

Melalui pendanaan publik sebesar 8,5 miliar dolar Amerika Serikat (AS) atau setara Rp 132 triliun selama tiga hingga lima tahun dari kelompok negara maju, Afrika Selatan menjadi negara pertama penerima JETP. Negara itu berupaya untuk menghadirkan energi bersih dan melepaskan diri dari cengkraman energi fosil.

Di tahun 2022, Indonesia menjadi negara kedua yang mengumumkan kerja sama JETP. Pengumuman itu disampaikan pada momen KTT G20 di Bali. Dengan pembiayaan mencapai 20 miliar dollar (setara Rp 311 triliun), kemitraan tersebut diklaim sebagai investasi iklim terbesar sepanjang sejarah untuk satu negara.

Baca Juga: Tinggalkan Batu Bara, Adaro Diversifikasi Bisnis Energi Terbarukan

Sebulan kemudian, Vietnam juga meluncurkan JETP di ajang KTT Uni Eropa-ASEAN pada Desember 2022 dengan nilai 15 miliar dolar atau setara Rp 233 triliun. Setelah itu sejumlah negara mengaku tertarik dengan pola kemitraan tersebut. Sebut saja, India, Senegal, dan Tanzania tertarik untuk mengembangkan JETP mereka sendiri.

JETP menjadi skema pembiayaan transisi energi yang unik karena adanya penekanan pada aspek keadilan atau just yang penting dalam upaya menghadirkan keadilan bagi masyarakat dan kelompok rentan yang akan terdampak langsung oleh proses transisi energi.

Mereka yang terdampak adalah orang-orang yang bekerja dalam sektor energi fosil seperti pekerja tambang dan PLTU batu bara dan masyarakat yang keberlangsungan hidupnya bergantung pada industri tersebut.

Sayangnya, kepastian akan keadilan restoratif yang seharusnya menjamin pemulihan berbagai dampak negatif dari operasi industri fosil belum disebutkan dalam skema tersebut.

Baca Juga: Soal Akuisisi PLTU oleh PTBA, Menteri ESDM: Langkah Berani!

Kehadiran JETP seharusnya digunakan untuk mendorong proses transisi dari energi kotor fosil ke energi bersih terbarukan terjadi dengan lebih lancar. Salah satunya dengan mendorong upaya reskilling dan upskilling bagi para pekerja di sektor tersebut dan mengompensasi upah mereka selama periode transisi.

JETP dapat juga digunakan untuk membantu mentransformasi wilayah-wilayah yang perekonomiannya masih bergantung pada industri energi fosil batu bara, suatu hal yang sangat krusial bagi negara seperti Indonesia. Terlebih, Indonesia sudah meratifikasi Perjanjian Paris (Paris Agreement) yang disepakati pada KTT COP 21 pada tahun 2015.